Namun yang cukup penting saya catat adalah IBI berhasil menaklukkan keliarannya yang selama ini cenderung ia eksekusi pada kanvas yang besar menuju yang kecil, dan akhirnya sukses pula menjadikan karya yang tetap kuat. Inilah sebuah rangkaian penting yang ia jalani untuk aktif berkarya menghasilkan garapan-garapan baru.
Banyak yang bisa diceritakan lewat karya-karya indah IBI, hingga bisa dibilang tidak ada yang ditutupi dari adegan-adegan romantis sampai sarkastis. Perhatikan, semisal dari karya I Love U When Iam Drunk, I Love My Wife, Ayu Ari Naked, dimana ia tidak harus jauh menghadirkan sosok sebagai obyek karyanya. Saya percaya dengan menempatkan "istri"nya, terutama yang menyangkut ekspresi keresahan jatidiri, IBI berhasil semakin mempertajam hasil eksplorasi isi pikirannya.Â
Kadang-kadang dibalik karya-karya yang meledak-ledak, penikmat karyanya diajak merenung seketika. Sederetan karya seperti Dhurga, A dream, Holyman, Red Blood Fullmoon dan lainnya, disini IBI seperti mengerem dan sembari tersenyum bilang "wait".
Memang, akhirnya terlihat seperti ada penggalian permasalahan dari ekplorasi IBI, dan betapa penggalian itu juga menjadi refleksi untuk melihat kembali perkembangan karyanya.
Ida Bagus Indra, yang sudah mengharumkan namanya sebagai pelukis Bali, memang seorang pribadi yang unik, karena ia mampu menyatukan pandangan, pengalaman hidup dan kepeduliannya terhadap kehidupan. Maka, tidaklah berlebihan bila karya-karyanya memiliki sentuhan serta kejutan bagi siapa saja yang menikmatinya. (Yudha Bantono)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H