Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membaca Kesadaran dari Foto Diri Gus Toke

4 Februari 2017   20:33 Diperbarui: 2 April 2017   05:00 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Bima disuruh gurunya Pendeta Dorna untuk mencari air kehidupan, ia sangat patuh untuk menjalaninya. Bima tidak mengerti maksud Dorna yang justru hendak menjebak sekaligus membinasakannya. Pendeta Dorna memilih cara dengan teknik jebakan tipu muslihat yang halus, bahwasanya air penghidupan itu sebenarnya memang tidak akan pernah diketemukan.

Kenapa saya membuka pembicaraan membahas karya potret diri Gus Toke dengan kisah Bima mencari banyu bening pawitra sari? Ini tidak lain adalah upaya saya membaca karyanya, menghubung-hubungkan pengalaman hidup dan sikap pemikirannya.  

Akhir musim panas tahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi studio seninya di Zürich Swiss. Sama seperti layaknya berkunjung ke studio seni teman-teman perupa di Eropa, saya selalu menaruh perhatian pada hal-hal yang memiliki nilai kejut di sekitar ruangan di mana Gus Toke bekerja. Drawing di berbagai media, pada kertas  gambar, kertas pembungkus makanan, dan papan kayu. Deretan karya yang terjajar rapi di dinding, maupun yang belum rampung, kesemuanya memperlihatkan bahwa sang perupa memang sangat produktif. 

Setelah melihat dan berbincang mengenai karya-karyanya, Gus Toke menunjukkan puluhan print lembar foto di atas kertas foto ukuran separo A4. Awalnya saya pikir adalah potret diri untuk rencana lukisnya, atau ingin mengolase menjadi karya barunya. Seketika saya langsung tertegun dan tidak dapat menutupi keheranan, pada suatu pembicaraan tiba-tiba Toke bilang, “Ini karya saya, sebuah renungan, pengendapan, proses, penciptaan, dan pembicaraan.”

Sedari mula saya memang rajin mengikuti beberapa foto potret diri Gus Toke yang ia unggah beberapa di media sosial Facebook. Dari beberapa karya itu saya sudah menaruh curiga, dan telah pula saya ulas sebagian sebagai pembacaan bebas. Namun, begitu tumpukan foto yang menyeret pembacaan lebih jauh, seolah ia sengaja menjatuhkan kitab Bhagawat Gita yang tebal dari rak bukunya tepat di atas kepala saya. 

foto koleksi seniman
foto koleksi seniman
Itulah foto-foto Gus Toke yang langsung saya hubungkan dengan kisah pencarian air penghidupan yang tidak ada dan tidak pernah ditemukan, membuat Bima hampir binasa. Namun dari kisah itu, justru menghasilkan perjumpaan dengan dewa mini yang penuh misteri yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Karena itu, Gus Toke dalam self portrait yang menghadirkan beragam karakter, persis seperti ketika Bima bertanya kepada dirinya sendiri.

Kemiripan cara mengkritisi keadaan di luar dirinya menjadi cara baca karyanya yang kini ia simpan dalam bundel file yang rapi. Karya Gus Toke saya perhatikan tidak sekadar jenaka atau menghibur, ada matematika rasa yang bisa mengalkulasi ke mana sebenarnya arah ia berbicara. Beberapa karya memang sangat sensitif, bahkan provokatif. Gus Toke meletakkan secara penuh bahwa dirinya adalah obyek, tidak ada sebuah beban yang melatarbelakanginya. Ketika saya harus melihat posisi dia sebagai orang yang memiliki posisi penghormatan, justru ia jungkirkan. Artinya, Toke bisa memilah antara spirit jiwanya dan tubuhnya.  

****

Proses kreatif Gus Toke sangat sederhana, ia kebanyakan menghadirkan T-Shirt kenangan masa lalunya yang ia bawa dari Bali. T-Shirt itu seolah jimat saktinya ke mana ia akan berbicara. Dari T-Shirt ini ia sendiri ingin menunjukkan bahwa sebagai manusia ia adalah nothing atau tidak ada apa-apanya. Ia seakan meletakkan “tidak ada apa-apanya” itu sebagai penanda awal, dari penanda itulah selanjutnya ia ingin menggugah kesadaran siapa pun. Jelaslah kiranya bahwa ini tidak ada konteks pada dirinya pribadi. Toke mengatakan dirinya adalah bagian yang ia pinjam untuk mempermudah keleluasaannya berekspresi.

Who am I ? (foto koleksi seniman)
Who am I ? (foto koleksi seniman)
Gus Toke adalah perupa yang peka terhadap keadaan di sekitarnya maupun di kampung halamannya, termasuk negerinya. Pada karya-karyanya yang ditunjukkan di studio Zürich, hampir secara keseluruhan menunjukkan sikapnya yang penuh pergulatan dan pemberontakan. Sebagai orang Bali ia sangat fasih ketika berbicara dalam dimensi dialog kultur timur dengan kultur barat. Dan ini menariknya ketika membincangkan hubungan karya foto-toto dirinya saya frame sebagai perlambang manusia yang harus melihat dirinya atau pentingnya introspeksi.

Pelan-pelan saya kembali mengingat perupa Cina Yue Minjun yang juga meletakkan keberadaan dirinya dalam mempertanyakan sebuah realitas kehidupan melalui karya-karyanya yang berpose tertawa. Dibanding dengan Yue Minjun, bahkan dengan perupa lainnya yang menggunakan obyek dirinya untuk berbicara, Gus Toke seperti ingin lebih memperjelas atau menggarisbawahi bahwa foto dirinya adalah percepatan dari loncatan karya lukisan-lukisannya.

Gus Toke tidak pernah merasa alergi atau risih semisal bila dirinya harus mengkritisi kulturnya. Ia sangat blak-blakan bahkan tak segan membawa ingatan masa lalunya dengan keadaan sekarang. Evolusi kultur karena perkembangan pariwisata di tanah kelahirannya menjadikan “pariwisata” meninabobokkan segalanya. Itu adalah sebagian kritik ketika ia harus bercakap-cakap dengan boneka, semisal dalam salah satu karyanya.

Ketika saya singgung simbol kesederhanaan dari T-Shirt berlubang, apakah ada keterkaitan dengan laku hidup Ida Pranda Sidemen? Dengan spontan ia menyalami tangan saya. Menurut Toke sebagai orang Sanur Bali ia merasakan bagaimana sastrawan besar abad XX itu semangatnya selalu hadir pada dirinya semenjak ia kecil. Lebih lanjut Toke melihat dan merasakan petuah-petuah serta sikap hidup Ida Peranda Sidemen tetap jernih dan relevan sebagai pegangan hidupnya. Untuk itu, saya mulai mendapat angin segar dalam merunut semangat berkaryanya bahwa ia meletakkan kesederhanaan yang bermetamorfosis pada kecerdasan tidak bisa lepas dari kekuatan laku hidup Ida Peranda Sidemen.

******

Bila merujuk pada gagasan foto diri sebagai bahasa ungkap, sebenarnya ia telah melakukannya sejak belajar di bangku sekolah seni rupa. Kegelisahan tentang dirinya dan hal-hal yang ada di sekitarnya selalu ia kritisi sebagai bagian dari caranya melihat persoalan. “Sejak mula saya selalu menempatkan diri saya dulu sebelum berbicara ke mana-mana, saya sadar diri saya adalah representasi manusia yang tidak sempurna dan penuh ego, ini yang harus saya hancurkan terlebih dahulu,” ungkapnya.

Gus Toke memang tergolong perupa yang memiliki pandangan modern. Ia sempat mengenyam pendidikan di SMSR Batubulan, jurusan seni lukis dan juga STSI Denpasar, namun belum sempat menyelesaikan studinya tahun 1999 ia hijrah ke Swiss, tepatnya Zürich yang selanjutnya menjadi rumah keduanya setelah Bali.

Di Kota Zürich, Gus Toke memulai kehidupan baru. Persinggungan dengan kultur Barat semakin menarik dirinya memahami esensi kehidupan. Keharusan untuk mengisi kehidupan di negeri orang, membuatnya semakin terus untuk banyak mengetahui. Benturan demi benturan yang membuatnya harus sadar tidak bisa membawa-bawa atribut Bali, lebih-lebih berkaitan dengan pola pikirnya. Bagi Toke, ke Swiss adalah proses atau laku hidupnya yang harus dijalani.

Penulis dan seniman ketika di kediaman Gus Toke, Zürich, Swiss, 2016
Penulis dan seniman ketika di kediaman Gus Toke, Zürich, Swiss, 2016
Bila saya harus meraba-raba kembali dari karya lukis dan foto dirinya, sulit mengatakan apa yang sebenarnya dicari atau ditemukan Gus Toke. Kalaupun misalnya dicari untuk menghubung-hubungkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tentu siapa pun berhak memilih karena karya-karyanya bebas untuk dihubung-hubungkan. Terus terang saya menyukai hukum gothak-gathuk atau keakuran, misalnya beberapa karyanya bisa bebas saya pilih untuk memadukan olah rasa keindonesiaanya terhadap situasi saat ini.

Dua karya yang berjudul On my Head dan Between Red and White Roses, jujur karya ini telah ia buat cukup lama, jauh sebelum konflik yang menyita pikiran akan pentingnya cinta tanah air dan persatuan dalam menyelamatkan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Bagi saya, dua karya ini cukup serius bila diperhatikan dalam pola hubungan objek dan elemen pendukungnya saling berbicara.

Karya On my Head seperti mengingatkan pentingnya harga diri bangsa dengan dasar negara Pancasila. Harga diri bangsa ini tidak boleh diinjak-injak oleh siapa pun, termasuk bangsa lain atau oleh kaum radikal dan intoleran di negeri ini. Sementara, karya Between Red and White Roses secara tegas menghadirkan dua warna bunga mawar merah dan putih, ini sangat jelas melambangkan bendera Indonesia. Mawar itu diletakkan di depan mata, dari simbolisme yang kuat ini saya berani mengatakan bahwa Toke seperti mengingatkan pentingnya mencintai Tanah Air Indonesia. Mungkin menurutnya telah banyak mata orang Indonesia yang tertutup dan diam memandang pentingnya kembali mencintai negerinya. Untuk itu, bagi saya karya ini adalah provokasi positif, bahwa hanya dua warna yang harus dijunjung demi tegaknya kedaulatan NKRI ini, yaitu merah putih.

On my Head (foto koleksi seniman)
On my Head (foto koleksi seniman)
Begitulah yang terjadi ketika saya harus mengingat kembali karya-karya Gus Toke tentang potret dirinya. Suatu figur dan karakter yang berbeda dapat diperlihatkan, betapa dirinya ingin sebebas-bebasnya memperlihatkan apa yang tak lazim dilakukan orang lain. Wajahnya menjadi demikian serius walau kekonyolan hadir di antaranya, ini dapat membuat siapa pun bisa tertawa dan kemudian menahan tawa itu karena penasaran apa yang dimaksudkan oleh sang seniman.

Demikian foto-foto Gus Toke bercerita: ada yang menertawai dirinya, satire, sinisme, dan ajakan. Toke tak ingin berkata-kata tentang foto-foto dirinya. Ia hanya menampilkan fotonya yang dapat bertutur kisah tentang keadaan sekarang ini. Ia tidak menolak bahwa semuanya adalah karangan dari proses kelana pikirannya. Toke mempunyai kritik terhadap gaya kehidupan, kepura-puraan yang melanda masyarakat modern. Maka, tak heran bila foto-foto dirinya mampu tampil sebagai narasi bagi pembacaan realitas kehidupan masyarakat dewasa ini. (Yudha Bantono, Bali, 04.02.17)

Gus Toke :

www.gustoke.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun