Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Nyai Brayut sampai Iwan Fals, Grace Menyentuh Indonesia

26 Januari 2017   12:55 Diperbarui: 26 Januari 2017   15:48 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grace Tjondronimpuno (private collection)

Ketika melihat bayangan di bawah gendongan di mana anak-anak berada, nampak pola bayangan yang berbentuk hati. Bayangan ini secara tegas berbicara bahwa cinta, kasih sayang, penghormatan, dan saling menghargai antar sesama menjadi modal utama untuk menciptakan rasa dan suasana hidup penuh kedamaian.

Hadirnya figur anak-anak yang digarap oleh Grace dengan Figurasi kartunal, nampak memiliki kekuatan ekspresi yang sangat komunikatif. Kekuatan ekspresi ini tentu sebagai bagian upayanya menghasilkan refleksi yang jujur dari kondisi yang ia jumpai di masyarakat. Untuk itu, masih seperti biasanya cara provokasinya berupa sindiran atau mengkritisi keadaan selalu ia tempelkan kuat pada figur-figur yang mewakilinya.

Perhatikan seorang anak yang sedang mendalang dengan memegang semar. Grace membaluti figur itu lengkap dengan atribut seorang dalang. Tokoh Semar meskipun terlihat kecil, namun ia garap dengan sangat detil. Lubang telinga semar dengan anting-anting cabe merah besar nampak dengan jelas terbaca. Grace menghadirkan sosok Semar atau Ki Lurah Semar ingin menyampaikan pesan watak dari Ki Lurah Semar yang mewakili kesederhanaan, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik dan tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang.

Begitu halnya anak Nyai Brayut yang sedih dengan meneteskan air mata menyanyikan lagu Iwan fals “ibu”, sementara di belakangnya seorang anak bandel jago berkelahi dengan wajah yang bangga ditempeli plaster luka. Anak-anak Nyai Brayut yang lainnya dengan balutan busana dan wajah beragam etnis secara tegas berbicara perihal pentingnya toleransi sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Mereka semua terlihat ceria, seperti menunjukkan harapan besar Indonesia tetap sebagai negeri yang damai dan melindungi penduduknya yang beragam. Terlihat juga anak-anak Nyai Brayut yang lainnya sedang selfie, bermain gaget atau mainan pintar, olahragawan, pelajar, pramuka, sampai tokoh fantasi badman, kesemuanya menggambarkan tidak hanya perbedaan yang tampak namun juga isi pikirannya.

Kerja kreatif Grace sendiri memang selalu berakar kuat dalam penggambaran sosok manusia. Biasanya pada medium kanvas yang lebih besar ia sering teregang untuk bernarasi yang lebih luas. Grace menciptakan narasi yang saling berkaitan membentuk kesimpulan yang menyentuh perasaan pembaca karyanya. Sementara karya Grace yang lainnya sering tampak membawa unsur shock atau konfrontasi.

Hal ini menegaskan bahwa karyanya memang dihadirkan untuk melibatkan pembaca karyanya. Melalui karya Save NKRI #2 Grace sepertinya ingin memicu reaksi pembaca karyanya dengan cara memanggil atau mengundangnya, kemudian berbisik lirih di telinganya. “ Hei kawan saya ingin memberitahu anda tentang kondisi bangsa kita saat ini, kebencian, kekerasan, fitnah, cinta, kasih, kedamaian, dan kebahagiaan memang selalu ada dalam kehidupan. Untuk itu ingatlah bangsa ini seperti mengingat ibumu yang telah membesarkanmu yang telah mengandung dan memberi air susu, dan membesarkanmu, ingat jaga dan rawatlah ibu pertiwimu”.

Dari gambaran Nyai Brayut dan anak-anaknya, tampak sekali lagi bahwa Grace Tjondronimpuno sangat terbebani oleh kondisi bangsa yang baginya serius di ambang konflik besar dan mengancam. Bagaimanapun sebagai perupa ia tidak diam dan harus bersikap. Dengan karya seni rupanya ia berusaha untuk sharing tentang pentingnya hidup rukun dan damai. Samar-samar saya terpana melihat lantunan salah seorang anak Nyai Brayut yang digendongnya menyanyikan lagu

“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas ibu...ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu.
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas ibu...ibu”.

(Yudha Bantono, Bali 26.01.2017)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun