Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fotografi Tarian Rejang Tjandra Hutama & Penggalian Nilai-nilai Luhur Kultur Bali

2 Januari 2017   15:14 Diperbarui: 2 Januari 2017   23:34 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rejang Dancer, 2016, 136 x 91 Cm, Print on Canvas

Relasi antara citra fotografi dan kultur Bali bahwa karya itu memang membingkai nilai-nilai dan keindahan yang melekat pada kultur Bali. Sebuah karya Tjandra Hutama K. berupa olahan fotografi dicetak di atas kanvas, menghasilkan cara pandang yang lain dalam menikmati sebuah karya fotografi. Karya ini telah menggeser pengejaran dari pencarian estetika menjadi pentingnya sebuah konsep.

Ketika mengamati karya Rejang Dancer yang dicetak dengan ukuran 136 x 91 Cm, saya seperti dijelaskan bahwa sang pencipta karya ini berkeinginan menyembunyikan realita secara utuh dari sosok penari-penari rejang. Betapa tidak, saya harus menikmati ekspresi sang penari rejang yang ditampilkan setengah badan, tanpa dominasi warna yang melekat secara sesungguhnya. Karya ini sangat menarik saya baca, karena sedari mula menghadirkan ruang misteri kemana karya ini akan berbicara.

Memang, membicarakan hasil karya fotografi bagaimanapun selalu dihubungkan dengan penguasaan teknik tertentu, pada tahap pelaksanaan maupun setelahnya. Ketika gagasan yang telah hadir pada tahab awal berlanjut sebagai muatan karya, maka disinilah sesungguhnya rabaan pembacaan karya yang menyeret saya untuk berdialog dengan fotografernya.

Rejang Dancer, 2016, 91 x 136 Cm, Print on Canvas (Private Collection)
Rejang Dancer, 2016, 91 x 136 Cm, Print on Canvas (Private Collection)
Karya seri Rejang Dancer sendiri menjadi photography project Tjandra, dan salah satunya dipamerkan dalam merayakan “Tribute to I Gusti Made Deblog”, di Denpasar Art Space yang berlangsung sampai 27 Pebruari mendatang bersama 15 seniman lainnya. Tema kekuatan kultur dari identitas seorang Deblog menjadi pararel bila harus dihubung-hubungkan dengan karyanya yang sarat akan filosofi Hindu Bali. Tjandra tidak melakukan penelusuran dari apa yang telah dilakukan oleh pelukis legendaris Kota Denpasar ini, namun ia lebih ingin mengajak melihat kembali nilai-nilai luhur dari sebuah kultur Bali.

Melalui karyanya, Tjandra seolah ingin mengkonstruksi perpaduan dari berbagai elemen alam untuk menghantarkan sebuah konsep pemikiran dalam menghadirkan Tarian Rejang. Unsur-unsur dari elemen itu ia letakkan menjadi bagian demi bagian dalam menjabarkan hubungan Panca Maha Bhuta (lima elemen dasar yang membentuk alam semesta) antara (bhuwana agung) dan badan manusia (bhuwana alit).

Rejang Dancer, 2016, 136 x 91 Cm, Print on Canvas (Private Collection)
Rejang Dancer, 2016, 136 x 91 Cm, Print on Canvas (Private Collection)
Seperti diketahui, Tarian Rejang adalah salah satu tarian sakral yang ada di Bali, ditarikan di dalam pura sebagai presentasi suci menyambut dan menghibur para dewa yang turun dari langit ke bumi. Selama upacara di pura, dewa diundang melalui mantra dan puja untuk turun dari langit, dan kemudian tinggal di dalam benda-benda sakral seperti pratima atau patung.

Tarian Rejang, terutama di daerah karangasem, bagian timur wilayah Bali, dilakukan oleh penari wanita yang tinggal di sekitar tempat suci desa setempat. Rejang sendiri memiliki banyak kombinasi pakaian dan mahkota. Setidaknya ada sekitar lebih dari 50 jenis rejang di daerah Karangasem saja. Untuk menghargai kesucian dan kemurnian Tarian Sakral tersebut, tarian ini tidak bisa ditarikan oleh sembarang penari, harus ditarikan oleh seorang gadis atau yang belum menikah.

Dalam pandangan saya, melihat Tarian Rejang sepenuhnya memang tidak bisa lepas dari sebuah nilai-nilai yang dikandungnya, termasuk kekuatan alam di dalamnya. Gagasan atau ide Tjandra yang diwujudkan melalui teknik blending dan menciptakan multi layer benar-benar memaparkan visualisasi hubungan kekuatan alam itu sendiri. Nampak dengan jelas bagaimana hasil teknis olahan karyanya berupa tekstur mengharuskan mata saya untuk meraba dan menyentuh tanah, air, retakan-retakan, daun, kayu, pelapukan, debu dan sebagainya.  Semuanya serba seimbang dan tenang, diwadahi dalam warna-warna alami dengan tingkat saturasi yang rendah.

Rejang Dancer, 2016, 136 x 91 Cm, Print on Canvas
Rejang Dancer, 2016, 136 x 91 Cm, Print on Canvas
Saya pikir, inilah upaya sebenarnya dari Tjandra dalam menampilkan sifat ketidakkekalan manusia yakni perubahan terus menerus yang terbentuk dari susunan elemen Panca Maha Bhuta,  yaitu Pertiwi; unsur padat atau tanah, Apah; unsur cair atau air, Teja; unsur cahaya atau api, Bayu; unsur angin atau udara dan Akasa; unsur ruang. Sedangkan sebagai kekuakatan pesan, saya melihat melalui karyanya Tjandra ingin menyampaikan kesadaran akan pentingnya harmonisasi dengan alam semesta sebagai manifestasi kehadiran sang pencipta dalam kehidupan sehari-hari.

Terlepas dari hasil pencapaian, karya Tjandra telah pula saya lihat secara jelas mulai keluar dari pola fotografi realisme romantik dalam mempresentasikan kegiatan kultur Bali. Sehingga, secara tidak langsung karyanya telah menyapu visualisasi pengemar fotografi untuk melompat jauh pada sebuah konsep pemikiran. Memperhatikan kembali karya-karya seri Rejang Dancer, disini saya merasakan kedekatan dari gagasan yang Tjandra sampaikan. Terdapat simbol, tanda serta kode dimana saya dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih dalam lagi dari kehadiran Tarian Rejang. 

Tjandra Hutama K. (foto koleksi pribadi)
Tjandra Hutama K. (foto koleksi pribadi)
Dari kecenderungan karya seri Rejang Dancer ini saya menaruh perhatian serius, bahwa proses pembacaan fotografi tentang kultur Bali kiranya akan semakin diperluas, lebih-lebih terhadap sensitivitas pembacaan perubahan kultur masa kini yang telah terjadi akibat laju modernitas. Patut disadari, saat ini hampir setiap orang sangat dekat dengan dunia fotografi. Untuk itu, perkembangan fotografi ke depan senantiasa harus berdasarkan konsep dan wacana, sehingga kajian fotografi akan bisa membedakan dengan jelas posisi dari setiap orang yang sekarang dengan mudah untuk bereksperimen menggunakan kamera foto dengan teknik-teknik olahan digitalnya.

Ada banyakkah kelak, karya-karya fotografer dari Bali yang lahir dari semangat baru yang bermunculan menghuni idealisasi dalam peluangnya di kancah pembicaraan dunia seperti halnya seni rupa ?. inilah yang mengigatkan saya, ketika saya merenung ulang dari pengalaman melihat karya-karya fotografi di berbagai event dunia yang benar-benar memaksimalkan konsep bukan hanya sensasi pengejaran keindahan. (Yudha Bantono, Denpasar Art Space 0201.2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun