Relasi antara citra fotografi dan kultur Bali bahwa karya itu memang membingkai nilai-nilai dan keindahan yang melekat pada kultur Bali. Sebuah karya Tjandra Hutama K. berupa olahan fotografi dicetak di atas kanvas, menghasilkan cara pandang yang lain dalam menikmati sebuah karya fotografi. Karya ini telah menggeser pengejaran dari pencarian estetika menjadi pentingnya sebuah konsep.
Ketika mengamati karya Rejang Dancer yang dicetak dengan ukuran 136 x 91 Cm, saya seperti dijelaskan bahwa sang pencipta karya ini berkeinginan menyembunyikan realita secara utuh dari sosok penari-penari rejang. Betapa tidak, saya harus menikmati ekspresi sang penari rejang yang ditampilkan setengah badan, tanpa dominasi warna yang melekat secara sesungguhnya. Karya ini sangat menarik saya baca, karena sedari mula menghadirkan ruang misteri kemana karya ini akan berbicara.
Memang, membicarakan hasil karya fotografi bagaimanapun selalu dihubungkan dengan penguasaan teknik tertentu, pada tahap pelaksanaan maupun setelahnya. Ketika gagasan yang telah hadir pada tahab awal berlanjut sebagai muatan karya, maka disinilah sesungguhnya rabaan pembacaan karya yang menyeret saya untuk berdialog dengan fotografernya.
Melalui karyanya, Tjandra seolah ingin mengkonstruksi perpaduan dari berbagai elemen alam untuk menghantarkan sebuah konsep pemikiran dalam menghadirkan Tarian Rejang. Unsur-unsur dari elemen itu ia letakkan menjadi bagian demi bagian dalam menjabarkan hubungan Panca Maha Bhuta (lima elemen dasar yang membentuk alam semesta) antara (bhuwana agung) dan badan manusia (bhuwana alit).
Tarian Rejang, terutama di daerah karangasem, bagian timur wilayah Bali, dilakukan oleh penari wanita yang tinggal di sekitar tempat suci desa setempat. Rejang sendiri memiliki banyak kombinasi pakaian dan mahkota. Setidaknya ada sekitar lebih dari 50 jenis rejang di daerah Karangasem saja. Untuk menghargai kesucian dan kemurnian Tarian Sakral tersebut, tarian ini tidak bisa ditarikan oleh sembarang penari, harus ditarikan oleh seorang gadis atau yang belum menikah.
Dalam pandangan saya, melihat Tarian Rejang sepenuhnya memang tidak bisa lepas dari sebuah nilai-nilai yang dikandungnya, termasuk kekuatan alam di dalamnya. Gagasan atau ide Tjandra yang diwujudkan melalui teknik blending dan menciptakan multi layer benar-benar memaparkan visualisasi hubungan kekuatan alam itu sendiri. Nampak dengan jelas bagaimana hasil teknis olahan karyanya berupa tekstur mengharuskan mata saya untuk meraba dan menyentuh tanah, air, retakan-retakan, daun, kayu, pelapukan, debu dan sebagainya. Semuanya serba seimbang dan tenang, diwadahi dalam warna-warna alami dengan tingkat saturasi yang rendah.
Terlepas dari hasil pencapaian, karya Tjandra telah pula saya lihat secara jelas mulai keluar dari pola fotografi realisme romantik dalam mempresentasikan kegiatan kultur Bali. Sehingga, secara tidak langsung karyanya telah menyapu visualisasi pengemar fotografi untuk melompat jauh pada sebuah konsep pemikiran. Memperhatikan kembali karya-karya seri Rejang Dancer, disini saya merasakan kedekatan dari gagasan yang Tjandra sampaikan. Terdapat simbol, tanda serta kode dimana saya dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih dalam lagi dari kehadiran Tarian Rejang.
Ada banyakkah kelak, karya-karya fotografer dari Bali yang lahir dari semangat baru yang bermunculan menghuni idealisasi dalam peluangnya di kancah pembicaraan dunia seperti halnya seni rupa ?. inilah yang mengigatkan saya, ketika saya merenung ulang dari pengalaman melihat karya-karya fotografi di berbagai event dunia yang benar-benar memaksimalkan konsep bukan hanya sensasi pengejaran keindahan. (Yudha Bantono, Denpasar Art Space 0201.2017).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H