Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lukisan Pohon Beringin dan Masa Lalu Djaja Tjandra Kirana

19 September 2016   21:43 Diperbarui: 20 September 2016   19:02 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Djaja Tjandra Kirana, foto koleksi penulis

Dalam sebuah kisah Dewa Ruci, ketika Bima belum menemukan air kehidupan, ia pasrah dan bersandar pada pohon beringin yang sangat besar. Tidak lama kemudian  ia mendengar suara yang tidak ada wujudnya mengatakan ia akan sia-sia bila melanjutkan mencari air kehidupan, karena barang itu tidak ada. Dan ternyata suara itu sejatinya adalah suara Bathara Indra dan Bathara Bayu. Atas pesan itu, maka Bima disuruh berhenti mencari air kehidupan dan kembali ke istana Astina.

Beringin adalah pohon yang memberikan banyak perlambang dalam kultur nusantara. Masyarakat Jawa mengenal pohon beringin sebagai pohon kehidupan. Pada kayonan  atau gunungan dalam wayang kulit yang menggambarkan pohon kehidupan itu sebenarnya juga adalah gambaran pohon beringin. Di Kraton Jogjakarta, bukan saja istana yang mengandung perlambang, tetapi juga pepohonan yang ditanam di sekitar istana, termasuk pohon beringin. Di Istana, pohon beringin adalah lambang perlindungan dan pengayoman raja kepada rakyatnya serta lambang bersatunya raja dengan rakyatnya. 

Pohon beringin secara turun temurun di banyak tempat dipercaya sebagai pohon yang angker  atau tenget. Pohon beringin juga sering digunakan tempat istirahat dan bertapa oleh para kesatria. Banyak orang tidak berani berbuat macam-macam di bawah atau di sekitar pohon beringin, karena pohon ini juga dipercaya sebagai rumah mahluk halus. Untuk itu, pohon beringin selalu dijaga dan dihormati keberadaannya.

Pohon beringin memang tampak memberikan keteduhan, dan memberikan ruang bagi ragam kegiatan masyarakat. Juga, pohon beringin itu sunyi, berbatang besar dengan kaki-kakinya yang banyak menjejak bumi, daunnya rimbun, dan akarnya yang menjulur menyentuh tanah. Setidaknya itulah gambaran yang bisa saya baca dari lukisan pohon beringin karya Djaja Tjandra Kirana. Lukisan-lukisan yang ia kerjakan sepuluh tahun terakhir itu juga membawa kenangan terhadap masa lalunya.

Djaja Tjandra Kirana (72), pelukis dan fotografer Denpasar, awal tahun 2000 an kebetulan sedang menemani pelukis Singapura Lim Ze Ping bersama pelukis T. Santosa untuk mencari obyek pohon beringin di Kintamani, Ubud, Goa Gajah, Sangeh dan Sanur. Dari semula menemani, ia mulai menarik ingatan pada masa kecilnya di Denpasar, dan seringnya berkeliling naik sepeda ke beberapa tempat dengan melihat beragam kegiatan masyarakat maupun sekedar berteduh di bawahnya.

Djaja Tjandra Kirana, foto koleksi penulis
Djaja Tjandra Kirana, foto koleksi penulis
Maka dari ingatan masa lalunya tentang pohon beringin sampai kini ia tetap menjumpai kembali pohon itu, lukisan Tjandra Kirana adalah dua simpul waktu yang menyatu. Melukis pohon beringin tidaklah mudah, karena harus mengulang-ulang dalam membuat daunnya yang kecil-kecil, atau sulur-sulur akarnya yang jatuh menyentuh tanah. Belum lagi mensiasati cahaya dari celah-celah pohon atau daun yang sengaja dibiarkan kosong. Jeda warna dari yang menyerupai abu-abu sampai hitam pekat kesemuanya dikerjakan dengan satu warna dalam tinta cina.

Dari mana Tjandra Kirana memiliki kesabaran menggarap dan menyelesaikan lukisan di atas kertas merang putih yang berukuran besar-besar itu ?. Sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, ketika SD sampai ia dewasa Tjandra harus melakukan kegiatan rutin membersihkan botol-botol kecap untuk diisi ulang kembali lalu dijual di toko klontong keluarganya. Memang itu adalah tugasnya selepas sekolah disamping ia harus menjaga tokonya di Jalan Gajah Mada Denpasar.  Dari kegiatan membersihkan botol-botol kecap itulah ia seperti dididik untuk disiplin, bersih, tekun, memahami proses, mengulang dan mengulang pekerjaan yang sama sampai selesai.

Tjandra sendiri tidak menyadari bahwa itu adalah bagian dari perjalanan berkeseniannya, namun setelah ia memahami didikan orang tuanya untuk menjadi orang yang tekun, menyelesaikan pekerjaan sampai detil dan selesai, baru ia merasakan bahwa ada keterkaitan dari ketekunannya ketika menyelesaikan setiap karyanya.

*****

Perfume, 1996, 80 x 100 Cm, Water color on canvas, Koleksi Neka Museum
Perfume, 1996, 80 x 100 Cm, Water color on canvas, Koleksi Neka Museum
Tjandra kecil sebetulnya tidak dikategorikan sebagai anak yang memiliki bakat menggambar. Sejak kelas 1 sampai kelas 6 ia hanya memperoleh nilai 4, 5 dan tertinggi angka 6 di setiap pelajaran menggambar. Sewaktu kelas 6 SD Tjandra terkena infeksi tifus dan harus istirahat di atas ranjang selama dua minggu. Ia tidak memiliki kegiatan apapun, kecuali hanya kesepian di dalam kamar. Di saat kesendirian dan merasa bosan itulah ia mencoba berlatih menggambar aneka binatang, kucing, burung, ayam dan sebagainya.

Sebuah kejutan yang tidak pernah ia sangka, setahun kemudian setelah tamat SD ia mencoba mengikuti perlombaan menggambar tingkat SMP dan menempatkan namanya sebagai juara pertama di kejuaraan itu. Pujian dari sahabat dan guru menggambarnya Seto Sin Fat seolah menyemangati untuk terus berlatih menggambar. Tjandra kecil sudah mulai percaya diri bahwa kelak ia ingin menjadi pelukis serius dan profesional.

Tahun 1963 setelah masuk SMP Tjandra mulai mengumpulkan uang jajan sekolahnya untuk membeli cat minyak. Ia kerap mengunjungi toko peralatan lukis di Jalan Gajah Mada yaitu Toko Muda hanya sekedar melihat-lihat dan menanyakan harga cat minyak. Ia mulai ingin mencoba seluruh media sampai akhirnya mampu membeli satu per satu cat minyak itu. Menurut Tjandra waktu itu merk cat minyaknya adalah  Greco buatan Malang. Ia belum paham menggunakan media cat minyak, namun karena keingin tahuan yang tinggi ia beranikan mencoba sambil melihat hasil lukisan cat minyak para pelukis-pelukis pendahulunya.

Waktu terus berjalan, kosentrasi sekolah di SMP-pun benar-benar terpecah dengan kegemaran melukis. Dalam waktu singkat ia telah mengenal pelukis Alimin, Bambang Malang, Chaidir, Rusli Hakim, Agus Djaya dan Antonio Blanco yang sering ia jumpai ketika berkunjung ke tokonya. Tjandra diam-diam juga sering mengunjungi Le Mayeur ketika melukis di Pantai Sanur, ia mengamati bagaimana Le Mayeur melukis Ni Pollok dengan teknik menitik-nitik karyanya dengan kuas di atas kanvas.

Sebagai seorang anak, segala sesuatu yang diinginkan berkenaan dengan menggambar selalu ia nomor satukan. Waktu itu tahun 1963 ketika mendengar adanya seniman yang akan pergi men-sket suasana upacara ngaben besar di Gianyar ia ikut pergi dengan naik sepada gayuh dari rumahnya Denpasar. Ia ternyata belum menguasai sket secara langsung, namun yang terpenting baginya ia telah melihat suasana bagaimana seniman berkarya, dan memiliki pengalaman berkarya secara langsung di depan obyek.

Sebuah kebetulan yang tidak direncanakan, Tjandra berjumpa dan berkenalan dengan Eddy Wat yang memiliki kamera, ia diajari cara menggunakan kamera sampai menghasilkan foto. Tjandra kemudian tambah bersemangat, setelah menguasai memotret, kemana-mana ia berusaha memotret dan hasilnya ia terjemahkan ulang ke dalam drawing dan juga karya lukis.

Karya lukisan Tjandra mulai dikenal dan dibicarakan orang, terutama para pelukis-pelukis yang telah mengetahui hasil karyanya. Semua memberikan pujian, termasuk sahabat SMP-nya yang berminat dan akhirnya sebagai pembeli karya pertamanya. Masih di tahun yang sama, melalui pelukis Raka Suasta dan Suandi, ia juga mulai ikut pameran bersama, yang kala itu masih tergolong pelukis anak-anak dalam rangkaian Konfrensi Pengarang Asia Afrika di Balai Masyarakat Bali yang sekarang menjadi Gedung Merdeka atau Denpasar Art Space.

****

Di hari tuanya kini, Tjandra bisa tersenyum sampai tertawa mengenal petualangannya. Namun bagaimanapun halnya, pengalaman itu ikut membentuk dan mempengaruhi dirinya dalam menjadi perupa yang serba bisa termasuk sebagai fotografer yang membawa namanya mendapat sederet penghargaan dan pengakuan dunia.

Tjandra masih ingat ketika ayahnya Kan Yok Nam dan Ibunya Wong Yan Phing, keduanya tidak pernah menyetujui dirinya memilih jalan hidup sebagai seniman. Kedua orang tuanya sangat paham bahwa sebagai seniman ia tidak akan bisa hidup berkecukupan. Dalam perjalanan hidup, menurutnya ia harus mengikuti perasaan yang dalam dari sanubari, termasuk jalan sebagai seniman yang tidak pernah ia fikirkan sebelumnya.

Kata Tjandra, ketika ingatan masa lalunya mengenang desa-desa di Bali dengan tradisi dan suasana alam yang asri, maka pohon beringin adalah memori kuat yang tidak pernah ia lupakan. Setiap bagian alam semesta ini pasti menciptakan kenangan pada siapapun sesuai dengan semangat zamannya. Terlepas dari filosofi dan cerita tentang pohon beringin, dirinya memang sangat mengagumi pesona dari pohon yang banyak tumbuh di bumi Bali ini.

Itulah lukisan pohon beringin Djaja Tjandra Kirana yang menghantarkan ingatan masa lalunya. Lima puluh tahun lebih perjalanan sebagai pelukis telah meraba peristiwa yang bagi saya sangat luar biasa, dari botol kecap hingga karya-karya beragam media, hadir membuktikan dedikasi laku hidupnya sebagai pelukis dan fotografer sohor Indonesia.  (Yudha Bantono, Hari Raya Kuningan 2016 bersama Djaja Tjandra Kirana)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun