Tahun 1963 setelah masuk SMP Tjandra mulai mengumpulkan uang jajan sekolahnya untuk membeli cat minyak. Ia kerap mengunjungi toko peralatan lukis di Jalan Gajah Mada yaitu Toko Muda hanya sekedar melihat-lihat dan menanyakan harga cat minyak. Ia mulai ingin mencoba seluruh media sampai akhirnya mampu membeli satu per satu cat minyak itu. Menurut Tjandra waktu itu merk cat minyaknya adalah  Greco buatan Malang. Ia belum paham menggunakan media cat minyak, namun karena keingin tahuan yang tinggi ia beranikan mencoba sambil melihat hasil lukisan cat minyak para pelukis-pelukis pendahulunya.
Waktu terus berjalan, kosentrasi sekolah di SMP-pun benar-benar terpecah dengan kegemaran melukis. Dalam waktu singkat ia telah mengenal pelukis Alimin, Bambang Malang, Chaidir, Rusli Hakim, Agus Djaya dan Antonio Blanco yang sering ia jumpai ketika berkunjung ke tokonya. Tjandra diam-diam juga sering mengunjungi Le Mayeur ketika melukis di Pantai Sanur, ia mengamati bagaimana Le Mayeur melukis Ni Pollok dengan teknik menitik-nitik karyanya dengan kuas di atas kanvas.
Sebagai seorang anak, segala sesuatu yang diinginkan berkenaan dengan menggambar selalu ia nomor satukan. Waktu itu tahun 1963 ketika mendengar adanya seniman yang akan pergi men-sket suasana upacara ngaben besar di Gianyar ia ikut pergi dengan naik sepada gayuh dari rumahnya Denpasar. Ia ternyata belum menguasai sket secara langsung, namun yang terpenting baginya ia telah melihat suasana bagaimana seniman berkarya, dan memiliki pengalaman berkarya secara langsung di depan obyek.
Sebuah kebetulan yang tidak direncanakan, Tjandra berjumpa dan berkenalan dengan Eddy Wat yang memiliki kamera, ia diajari cara menggunakan kamera sampai menghasilkan foto. Tjandra kemudian tambah bersemangat, setelah menguasai memotret, kemana-mana ia berusaha memotret dan hasilnya ia terjemahkan ulang ke dalam drawing dan juga karya lukis.
Karya lukisan Tjandra mulai dikenal dan dibicarakan orang, terutama para pelukis-pelukis yang telah mengetahui hasil karyanya. Semua memberikan pujian, termasuk sahabat SMP-nya yang berminat dan akhirnya sebagai pembeli karya pertamanya. Masih di tahun yang sama, melalui pelukis Raka Suasta dan Suandi, ia juga mulai ikut pameran bersama, yang kala itu masih tergolong pelukis anak-anak dalam rangkaian Konfrensi Pengarang Asia Afrika di Balai Masyarakat Bali yang sekarang menjadi Gedung Merdeka atau Denpasar Art Space.
****
Di hari tuanya kini, Tjandra bisa tersenyum sampai tertawa mengenal petualangannya. Namun bagaimanapun halnya, pengalaman itu ikut membentuk dan mempengaruhi dirinya dalam menjadi perupa yang serba bisa termasuk sebagai fotografer yang membawa namanya mendapat sederet penghargaan dan pengakuan dunia.
Tjandra masih ingat ketika ayahnya Kan Yok Nam dan Ibunya Wong Yan Phing, keduanya tidak pernah menyetujui dirinya memilih jalan hidup sebagai seniman. Kedua orang tuanya sangat paham bahwa sebagai seniman ia tidak akan bisa hidup berkecukupan. Dalam perjalanan hidup, menurutnya ia harus mengikuti perasaan yang dalam dari sanubari, termasuk jalan sebagai seniman yang tidak pernah ia fikirkan sebelumnya.
Kata Tjandra, ketika ingatan masa lalunya mengenang desa-desa di Bali dengan tradisi dan suasana alam yang asri, maka pohon beringin adalah memori kuat yang tidak pernah ia lupakan. Setiap bagian alam semesta ini pasti menciptakan kenangan pada siapapun sesuai dengan semangat zamannya. Terlepas dari filosofi dan cerita tentang pohon beringin, dirinya memang sangat mengagumi pesona dari pohon yang banyak tumbuh di bumi Bali ini.
Itulah lukisan pohon beringin Djaja Tjandra Kirana yang menghantarkan ingatan masa lalunya. Lima puluh tahun lebih perjalanan sebagai pelukis telah meraba peristiwa yang bagi saya sangat luar biasa, dari botol kecap hingga karya-karya beragam media, hadir membuktikan dedikasi laku hidupnya sebagai pelukis dan fotografer sohor Indonesia. Â (Yudha Bantono, Hari Raya Kuningan 2016 bersama Djaja Tjandra Kirana)
Â