Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Evolusi Binatang dan Kesunyian Kayu-kayu

29 Juni 2016   05:34 Diperbarui: 29 Juni 2016   09:43 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HARI ITU KAJENG. Hari dimana para dewa dewi sedang bersuka cita. Gus Sutama memanjatkan doa, memohon izin memulai pekerjaannya. Kayu kamboja (Plumeria acuminata) yang telah diam tidur ditanah selama tiga tahun, mulai ia raba dan selanjutnya pahat-pahat mengalir membentuk pola dengan sendirinya. Itu adalah empat belas tahun silam, IB Putu Gede Sutama (59) atau biasa disebut Gus Sutama mengerjakan salah satu karyanya.

Di studio Gus Sutama, patung-patung beragam karakter menyambut kedatangan saya. Tidak asing lagi dengan salah satu patung yang menjadi favorit saya. Patung itu adalah patung kayu dengan image binatang yang mukanya selalu berubah bila diperhatikan dari sudut atau arah berbeda. Anjing, beruang, kijang muncul secara tiba-tiba. Sementara bila diperhatikan dari kaki dan kuku yang besar menarik pikiran saya untuk mengatakan itu adalah kaki gajah atau badak bercula. Apa Gus Sutama sengaja mengacaukan persepsi orang yang memandang karyanya ? atau ada maksud ingin mencampurkan banyak macam binatang dalam satu kesatuan, atau pula ingin menyamarkan bentuk-bentuk binatang dengan dunia mistis, entahlah kusimpan dulu pertanyaanku, sebelum kuketahui secara benar dari sang perupa.

Ida Bagus Putu Gede Sutama
Ida Bagus Putu Gede Sutama
Tuaji, sebutan akrab saya memanggil IB Putu Gede Sutama. Apa judul karya ini ?. Gus Sutama menjawab karya itu judulnya The Evolution of Animals. Karya yang menggambarkan evolusi binatang. Lebih lanjut Gus Sutama bercerita, bahwa bahan kayu kamboja patung ini telah mengajaknya berdialog begitu intens sebelum menjadi karya. “Setiap saya akan memulai berkarya dengan konsep yang sudah disiapkan, selalu saja gagal mengeksekusinya. Lama-lama kayu kamboja ini menjadi perhatian khusus disetiap perjumpaan saya. Dia memainkan pikiranku, dan disinilah penasaranku semakin menjadi-jadi sampai berulang-ulang berfikir, kujadikan bentuk apa kamu wahai kayu”, ujarnya.

Waktu tiga tahun bukan waktu sebentar untuk menentukan eksekusi kayu ini, sementara karya-karya yang lain silih berganti lahir. Tibalah saat Gus Sutama membolak-balikkan kayu kamboja itu, terlintaslah bentuk binatang, dan akhirnya terjawab dialog lamanya. Kajeng duase ayu wariga Bali, adalah waktu yang baik untuk memulai berkarya dan atas seizinNya Gus Sutama menyentuh kayu kamboja dengan pahat-pahat yang sudah disiapkan seketika.

Waktu berproses telah menjadi kesepakatan, Gus Sutama menikmati penggarapan karya ini. Bagi Gus Sutama, berproses selama berkarya adalah hal yang menentukan karya itu lahir. Proses berkarya adalah nomer satu, dan perkara hasil adalah nomer 10. Inilah yang membuat saya semakin serius mendengarkan penuturannya.

Patung Gus Sutama ini tidak lahir dari konsep, tapi tunduk pada bentuk alamiah kayu. Ini adalah bagian dari keyakinannya, bahwa membicarakan patung The Evolution of Animals berarti membicarakan bentuk-bentuk. Sebuah karya yang lahir mengedepankan proses penciptaan, mengalir melampau gagasan.

Maka, tidaklah heran bila proses penggarapan patung The Evolution of Animals tidak ada pesan yang menjadi bagian penting yang diinginkan pembuatnya. Karya patung ini sangat membedakan dari karya-karya Gus Sutama lainnya, seperti pada karya “Burung Garudaku”  yang bisa dihubung-hubungkan dengan negara dan sebuah kekuasaan politik. Karya Burung Garudaku menggunakan meterial recycle berupa kemudi perahu, diwarnai merah putih yang dibatasi warna biru, kuning dan merah.

Burung Garudaku, 2012, 146x35x2 cm, camplung wood
Burung Garudaku, 2012, 146x35x2 cm, camplung wood
Dalam konteks figur-figur binatang, Gus Sutama betul-betul hanyut mengikuti pola-pola yang terbentuk dari anatomi kayu. Ia tidak berani menciderai kayu melebihi anatomi yang telah tercipta secara alami. Ia sangat berkomromi dengan pikirannya, dan tidak terjebak pada keinginan pada mula berkarya lazimnya, seperti pola, skets, atau orat-oretan. Ada hubungan yang sangat kuat bila melihat cara penggarapan patung The Evolution of Animals  yaitu antara estetika, simbolisme dan bahasa rupa. Artinya Gus Sutama menentukan dari awal berproses dalam pencapaian estetika sebagai bagian utama. Sementara simbolisme yaitu figur-figur imaji binatang telah ia tentukan kemudian. Mengalir menemukan bentuk dengan sendirinya.

Kembali pada pengungkapan proses penggarapan The Evolution of Animals, menurut Gus Sutama, menikmati proses itu sendiri adalah tantangan, lebih menggoda dan menarik. Apakah berproses ada kaitannya dengan meditasi, gumanku, karena ia seorang penekun yoga ?. menurutnya proses penciptaan karya memang bisa dikaitkan dengan meditasi. Berproses itu perlu focus, sama halnya dengan yoga dari tangga asanas yang satu ke tangga yang lainnya. Seperti banyak orang bilang meditasi itu mudah kelihatannya, namun sangat sulit karena perlu fokus dari kesadaran berkosentrasi. Bila tidak ada fokus dalam berproses maka akan bubar pula apa yang akan dikerjakan.

Karya The Evolution of Animals  bisa menjadi pembanding dari karya dia yang lainnya, dimana sama-sama menggunakan medium kayu kamboja. Saya mengambil satu contoh karyanya yang mengacu pada persoalan sebuah tempat menjadi bagian yang sangat penting. Karya patung dengan sosok perempuan mistis, diamana ia tidak bersedia memberikan judul. Usut punya usut ternyata kayu yang digunakan menjadi patung itu adalah pohon kamboja dari Pura dalem Sanur yang berada di jalan Hang Tuah. Kayu kamboja itu adalah pemberian Ida Bagus Sidartha Putra, saudaranya dari Grya Keniten Sanur yang merupakan salah satu penyungsung pura dalem itu. Gus Sutama dengan kayu ini tidak kompromi dengan bentuk anatomi alami kayu, tapi ada proses kejiwaan dalam mengintimi sebagai dasar penciptaan karya. Gus Sutama jujur tidak mau menyebut karya itu mistis, karena karya yang ia buat murni dalam kapasitasnya sebagai benda seni.

Jadi ada hal-hal yang berbeda membaca proses berkesenian Gus Sutama. Satu sisi ia tunduk pada media yang ia kerjakan, sisi lain ia juga harus tunduk dalam perjalanan jiwa serta pesan-pesan sosial yang menjadi sensitivitas dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun