Melalui jalan riset, pemahaman Dwitra atas konflik 65 di Bali Barat sebenarnya telah didahului dengan pengalaman intensnya melakukan riset dari berbagai kejadian-kejadian yang sama di beberapa daerah di Bali. Maka tak heran, bila ia seakan fasih menjabarkan peristiwa dalam sebentuk film dokumenter kretaif.
Dalam penggarapan film dokumenter ini Dwitra sama sekali tidak mensetting peristiwa, ia justru luruh mengikuti jalannya proses rekonstruki yang ia kemas dalam sebuah catatan yang terus berjalan. Setiap tensi yang hadir dan memiliki kecenderungan menghantarkan komunikasi emosi pelaku peristiwa berhasil ia redam. Dwitra berupaya semaksimal mungkin agar berhasil dapat masuk, dan menjadi bagian peristiwa proses rekonsiliasi cultural bersama warga setempat.
Dwitra sangat menyadari, bahwa dirinya sebagai total film maker harus memerankan sebagai sutradara, kemeramen, periset, viewing, sampai editing. Memang ada hal yang menguntungkan bagi dirinya manakala jalannya peristiwa rekonsiliasi hadir dapat ia rasakan dan tentukan kemana arahnya. Kepekaan Dwitra membaca treatment yang secara cepat berjalan seakan meniadakan kompromi dirinya untuk melakukan “pause”. Dampak kejar-kejaran ini tentu menyita energi yang luar biasa, karena waktu dan berjalannya peristiwa dari proses rekonsialiasi itu tidak bisa diulang.
Dwitra sangat mengerti bagaimana ia harus memahami bidang-bidang penjabaran yang luas dari sebuah peristiwa, maka tak ayal dalam waktu satu setengah bulan dirinya harus terengah-engah mengumpulkan data visual dari satu tempat ke tempat lain, dan dari waktu ke waktu yang lainnya. Untungnya, ia terbiasa dengan pola kerja yang sangat individual.
****
Ingatan peristiwa 65 adalah hal yang wajar bila dipandang mengerikan, tetapi begitu dikaitkan dengan peristiwa rekonsiliasi cultural, hal itu menjadi cair bahkan muncul kesadaran bahwa di dalam rekonsoliasi kultural itu terdapat cara-cara untuk saling menerima secara baik antara pelaku yang masih hidup dan keluarganya maupun keluarga korban. Mungkin inilah yang menjadi rahasia film dokumenter kreatif karya Dwitra, walaupun saya yakin masing-masing orang yang menonton film ini akan menikmati dan memiliki persepsi yang berbeda.
Meski berada dalam wilayah ketegangan, nampak ada upaya penyajian yang lebih mengutamakan pesan penyelesaian konflik ketimbang menghadirkan perdebatan yang tak kunjung ujung pangkalnya. Sebuah keakuran jelas terlihat dari film dokumenter ini yang merekam fakta, kemudian merajut menjadi cerita dari pelaku, keluarga korban, masyarakat desa adat, aparat kepolisian, tentara setingkat koramil, ketua DPRD Kabupaten Jembrana, muspida, dan warga luar Bali, selanjutnya bermanifestasi menjadi sebuah pesan.
Dwitra telah membangun komunikasi dengan audiens yang beragam. Dalam film dokumenter kreatif “Masean’s Messages” setidaknya ia telah berurusan dengan tiga hal sekaligus, yaitu wilayah konflik, kesulitan-kesulitan dari proses rekonsiliasi peristiwa 65 serta kesadaran sosial dan kultural. Saya sangat tertarik dan menaruh perhatian khusus pada film “Masean’s Messages” ini, yang bagi saya menjadi salah satu petunjuk pemecahan masalah konflik 65 melalui jalan damai yaitu “rekonsiliasi cultural”.
Yudha Bantono
Art and architecture writer, tinggal di Denpasar Bali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H