Â
Jalinan hubungan Soekarno dan Le Mayeur sebagai sahabat terus berlanjut. Pelukis Dullah yang ternama dan dikenal berdiri dibawah patronage Soekarno pun bisa dijadikan saksi sejarah. Soekarno menulis surat yang ia tanda tangani untuk disampaikan kepada Le Mayeur. Surat itu dibawa sendiri oleh pelukis Dullah. Dalam surat itu Soekarno meminta kesediaan Le Mayeur agar menerima pelukis Dullah untuk belajar di studionya. Disini saya melihat bukan hal biasa, ada sebuah komunikasi interpersonal tingkat tinggi yang dilakukan Soekarno dengan melibatkan pelukis Dullah. Lagi-lagi sebuah persahabatan yang saling terjaga menghargai antara seniman dan kepala negara.
***
Sore itu sebetulnya hati saya masih berat untuk meninggalkan museum. Sembari meminta izin perpanjangan waktu, saya duduk kembali di balai depan pos pembayaran karcis masuk. Ingin rasanya membicarakan kembali kisah cinta asmara Le Mayeur terhadap Ni Pollok yang menjadi energi kreatif selama ia berkarya di Bali. Kini di ruang yang menumbuhkan  bunga-bunga cinta mereka berdua telah menjadi museum.Â
Saya mulai mengingat kembali akan sebuah peristiwa penting pada tahun 1956. Bahder Djohan, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia saat itu mengunjungi Le Mayeur dan Ni Pollok di rumah yang menjadi studionya. Bahder begitu terpesona dengan karya-karya Le Mayeur, dan kemudian mengusulkan kepada pasangan itu untuk melestarikan rumah dan studio mereka beserta seisinya sebagai museum. Le Mayeur menyetujui gagasan itu. Ia kemudian bekerja dan bekerja lebih keras lagi untuk menambah banyak koleksi-koleksinya.
Akhirnya, impian Le Mayeur menjadi kenyataan, dimana pada tanggal 28 Agustus 1957 sebuah kesepakatan ia tandatangani, yang isinya adalah bahwa Le Mayeur mewariskan semua miliknya termasuk tanah, rumah, dan seisinya kepada Ni Pollok sebagai hadiah. Di saat yang sama, Ni Pollok kemudian memindahkan semua yang diwarisi dari suaminya kepada Pemerintah Indonesia untuk digunakan sebagai museum.
***
Kini Bangunan luar museum memang tampak megah dan terlihat baru direnovasi. Sepintas saya masih memikirkan kembali karya-karya asli yang dihibahkan dan disimpan oleh pemerintah. Bagaimana nasip karya-karya itu, apakah benar masih terawat atau sudah hilang bahkan berganti dengan yang palsu seperti banyak di pasaran.Â
Ah, sementara saya lupakan dulu pikiran yang telah berlari kemana-mana ikut memikirkan nasip karya-karya Le Mayeur itu. Jelasnya sore itu saya benar-benar bahagia, sepertinya saya telah berhasil  mewancarai  Le Mayeur atas salah satu karya yang kupilih dan kuulas menjadi bahan pembacaan bebas. Itulah Le Mayeur dan Ni Pollok selalu dikenang dalam sejarah indah bagi perkembangan seni rupa Indonesia maupun dunia.
Tahun ini 2016, bila dihitung atas meninggalnya Le Mayeur, berarti telah 58 tahun ia meninggal. Saya mulai menghitung-hitung ulang, ia meninggal tahun 1958, dan bila harus memberikan penghormatan berupatribute to Le Mayeur, maka tahun ini adalah tahun special dimana angka tahun meninggal sama dengan waktu lama ia telah meninggal.