PANAS matahari menyapu pangkalan minyak tanah Kelurahan Utan Kayu, Jakarta Timur. Jerigen minyak yang ditenteng pembeli terlihat mengular di sepanjang jalan menuju pangkalan, ratusan warga sudah mengantri sejak pagi, namun minyak tak kunjung mereka dapat.
Sebuah reportase pagi dari salah satu stasiun televisi swasta telah mengganggu selera Grace yang pagi itu sedang menyuapi sarapan anaknya yang masih balita. Grace tidak habis pikir kenapa negara kaya dengan sumber daya alam dan tambang sampai didera derita semacam ini.
Pertunjukan sedih tentang negeri pagi itu telah pergi, para penontonnyapun juga sudah pergi, tinggal Grace yang hanya memandangi kompor di dapurnya, ruang dapur yang awalnya menjadi pandangan bahagia ibu rumah tangga seolah menjadi tangisan. Dari sudut-sudutnya meneteskan air mata, air mata kesedihan. Grace memang tidak mengeluarkan air mata, namun ia merasa bersalah bila hanya larut sebagai perupa. Ini bukan sebuah kegalauan yang ia dambakan, ini sebuah kepedihan yang ia rasakan dan harus ia suarakan.
***
Pagi kelabu itu terbenam dalam pikiran Grace dengan kekecewaan yang teramat sangat. Penindasan hak dasar rakyat yang terus berlanjut. Ketidakmampuan mengelola kekayaan bangsa justru menjadi pesta pora, korupsi dimana-mana, suara kebenaran telah dibungkam, menjadi permainan pencitraan.
Peristiwa yang mengharukan itu ia curahkan secara naratif dalam karya “Antre Sejerigen Minyak Tanah”, 2005, 30 x 30 x 150 Cm, Mixed media on multiplex wood. Karya itu adalah rekaman keadaan yang menjadi ingatan, dinarasikan menjadi karya rupa, bicara mewakili zaman.
Grace Tjondronimpuno (45) perupa wanita Magelang, Jawa Tengah, karya-karyanya memang kebanyakan mengangkat persoalan yang sering terlihat di masyarakat. Persoalan ekonomi, sosial, budaya, politik tak segan-segan ia respon dalam bentuk sindiran kritis yang halus dan tajam.
Grace melakukan filling karya-karyanya seperti jurnal sejarah, setiap peristiwa mewakili waktu, diuntai seperti kaledoskop seni rupa sosial bangsa. Ditangan grace potret buram bangsa tidak bisa didustakan apalagi dihilangkan.
Dalam seni rupa sekarang ini kepekaan seniman akan realitas kehidupan menjadi tuntutan yang tidak bisa diabaikan. Di negeri yang banyak didera masalah predikat seniman kritis sosial tidak begitu banyak disandang perupa.
Saya melihat Grace tidak terjebak dari gagasan yang mengungkung dirinya hanya pada tataran pengulangan karya yang mementingkan estetis, sehingga menjadi romantis dan kenes pada nilai seninya.
Grace mewakili kreativitas semangat zaman. Tahun 2005 adalah boom seni rupa dimana banyak seniman seketika itu mengkontemporerkan diri, mencari identitas memenuhi selera pasar. Ini tidak dipungkiri karena tuntutan infra struktur seni rupa Indonesia yang harus tunduk pada keinginan pasar, terjebak dalam kontrak ditentukan pada target kuantitas, dan akhirnya menyesakkan nafas.