Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wayang Beber 'Wedhus Gembel' Taufik Kamajaya

4 Juni 2016   13:02 Diperbarui: 22 September 2017   22:18 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taufik Kamajaya (foto koleksi pribadi)

PARO petang tanggal ke tiga belas Februari. Mendung merah terlihat menyelimuti Puncak Kelud, mendung dari mega darah yang marah. Sejuta bidadari terbang dengan sayap duri menusuk langit penuh birahi. Malam tidak sedang menjadi cinta lagi.

Gemuruh magma dalam perut gunung mengembuskan aroma kematian. Tanah-tanah retak memerosokkan kaki-kaki dingin. Kabut dengan cahaya hitam mutiara mengepul rendah. Banaspati mulutnya mengaga memancarkan api menyembur pintu khayangan. Pocong-pocong, jerangkong dan gondoruwo bergendongan, berenang-renang dalam air bah darah yang panas.

Adalah Taufik Kamajaya dengan karyanya yang dibingkai dalam serie Wedhus Gembel. Taufik Kamajaya sedang meratapi awan panas 600 derajat Celcius dari Gunung Kelud. Salah satu gunung yang menjadi pancering tanah Jawa.

Taufik mengeksplorasi wayang dengan cat air terlihat sangat sederhana, namun mendasar dan mendalam. Kenapa harus pusing memikirkan awan panas letusan gunung berapi. Bagi Taufik, ini adalah penting memikirkan keselarasan alam dan manusia. Kata filsafat jawa Ribang bumi ribang nyawa, ana beja ana cilaka, ana urip ana mati. Menurut Taufik  bencana dan celaka akan terjadi kapan dan dimana saja. Setiap bencana memang kehendakNya, namun harus direfleksikan kembali kenapa bencana itu terjadi.

Sederetan lukisan cat air wayang Wedhus Gembel sepintas mengigatkan wayang beber yang mengisahkan Panji karya Pujianto. Karya yang mengisahkan cinta Panji Asmoro Bangun merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo, yang telah berkeliling Rusia dan kini berada di Bali.

Saya beruntung dengan Taufik telah bersama-sama menyaksikan langsung lukisan wayang beber 60 meter karya Pujianto. Taufik tertegun melihat lukisan itu. Sebuah kejutan indah terdengar dengan keras dengan logat jawa Surabayanya “Wayang Beber Wedhus Gembel”.

Tentu paradok membandingkan kisah karya lukisan wayang beber Pujianto dengan Wayang lukisan cat air Taufik Kamajaya. Wedhus gembel bagi Taufik bukan sekedar debu panas vulkanik, namun sebuah kisah sedih, solidaritas, kekeluargaan dan spiritual yang menyatu dalam lakon hidup masyarakat lereng gunung berapi.

Salah satu tokoh wayang bebernya yang ditunjukkan kepada saya adalah Roro Oyi. Tokoh ini adalah dewi yang lahir dari bara api. Bila merujuk dalam cerita pewayangan, maka Roro Oyi seperti Dewi Drupadi, dilahirkan dari api melalui puja semadi. Taufik Kamajaya hanya bilang Roro Oyi adalah dewi api. Kata OYI sendiri mengingatkan sebuah kata yang sering dipakai warga Malang Jawa Timur artinya iya (iyo menjadi bahasa wolak-walik Malang: oyi) atau setuju.

Taufik Kamajaya (foto koleksi pribadi)
Taufik Kamajaya (foto koleksi pribadi)
Dewi ini memang jahat, kasar dan sangar penampakannya , bahkan sekti dengan kanuragannya. Taufik menghela nafasnya dengan pelan ia berkata “ tapi Roro Oyi ini sangat lembut hatinya dan sangat baik kepada siapapun ”.

Membincangkan tokoh-tokoh lukisan cat air Wedhus Gembel Taufik Kamajaya, seperti mendengarkan kisah dalang yang sedang memegang wayangnya. Menceritakan setiap tokoh lengkap dengan latar belakang yang melekat pada tokohnya entah baik maupun jahat.

Taufik Kamajaya memiliki cerita panjang yang akan ia lakoni dalam seri wayang gembelnya, namun ia tetap terbuka untuk menceritakan karya-karya yang dihasilkannya. Ketika saya tanya apakah sedang merindu pada sang dewi pujaannya? Taufik hanya ketawa “bisa juga sih….” Jawabnya sambil ketawa.

 

****

Leng-lenging driyo mangu mangu

Mangun kung kanduhan rimang

Lir leno tanpo kanin

Yen tan tuluso mengko Sang Dyah Utomo

 

Suluk wayang purwa “Manyura Jugad” yang artinya hati yg terpikat ragu-ragu, membuat kasmaran trenyuh sedih , seperti mati tanpa luka , bila tak berhasil mendapatkan Sang Dyah utama (Sang Wanita utama).

Dewi-dewi sedang menari-nari dalam ruang imaji Taufik Kamajaya, melebur dalam nyawa senyawa nyawanya. Taufik kini sedang meratapi hujan tangis lereng Kelud dengan petir dan semburan lava pijar yang sangat panas. Bumi memang setia pada janjinya, Tapi bumi dapat pula menangis karena telah terjadi bencana yang menimpanya.

Anak-anak manusia telah kehilangan ibu mereka yang mati dalam amukan wedus gembel, ibu bumi yang mengasihi dan menghidupi ditunggu hidup kembali. Mereka terus berkemit dalam doa memeluk pertiwi penuh kedamaian. Wedus gembel – wedus gembel ilango, tangekno ibu bumi panggenanku urip. 

Identitas karya lukis cat air Taufik Kamajaya yang ditampilkan lewat sosok figur ciptaannya, yaitu Roro Oyi, hadir dengan citra yang sangat kuat, baik dari segi kosep dan karakternya. Itulah yang membuat sosok Roro Oyi bisa lentur dalam kisah Jawa Timuran dimana ia lahir, tumbuh dan berkembang, baik dalam realita sebagai perupa maupun masyarakat dekat dengan Gunung Kelut.

 

Yudha Bantono Visiting Studio Artist – Taufik Kamajaya .12.02.2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun