PARO petang tanggal ke tiga belas Februari. Mendung merah terlihat menyelimuti Puncak Kelud, mendung dari mega darah yang marah. Sejuta bidadari terbang dengan sayap duri menusuk langit penuh birahi. Malam tidak sedang menjadi cinta lagi.
Gemuruh magma dalam perut gunung mengembuskan aroma kematian. Tanah-tanah retak memerosokkan kaki-kaki dingin. Kabut dengan cahaya hitam mutiara mengepul rendah. Banaspati mulutnya mengaga memancarkan api menyembur pintu khayangan. Pocong-pocong, jerangkong dan gondoruwo bergendongan, berenang-renang dalam air bah darah yang panas.
Adalah Taufik Kamajaya dengan karyanya yang dibingkai dalam serie Wedhus Gembel. Taufik Kamajaya sedang meratapi awan panas 600 derajat Celcius dari Gunung Kelud. Salah satu gunung yang menjadi pancering tanah Jawa.
Taufik mengeksplorasi wayang dengan cat air terlihat sangat sederhana, namun mendasar dan mendalam. Kenapa harus pusing memikirkan awan panas letusan gunung berapi. Bagi Taufik, ini adalah penting memikirkan keselarasan alam dan manusia. Kata filsafat jawa Ribang bumi ribang nyawa, ana beja ana cilaka, ana urip ana mati. Menurut Taufik bencana dan celaka akan terjadi kapan dan dimana saja. Setiap bencana memang kehendakNya, namun harus direfleksikan kembali kenapa bencana itu terjadi.
Sederetan lukisan cat air wayang Wedhus Gembel sepintas mengigatkan wayang beber yang mengisahkan Panji karya Pujianto. Karya yang mengisahkan cinta Panji Asmoro Bangun merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo, yang telah berkeliling Rusia dan kini berada di Bali.
Saya beruntung dengan Taufik telah bersama-sama menyaksikan langsung lukisan wayang beber 60 meter karya Pujianto. Taufik tertegun melihat lukisan itu. Sebuah kejutan indah terdengar dengan keras dengan logat jawa Surabayanya “Wayang Beber Wedhus Gembel”.
Tentu paradok membandingkan kisah karya lukisan wayang beber Pujianto dengan Wayang lukisan cat air Taufik Kamajaya. Wedhus gembel bagi Taufik bukan sekedar debu panas vulkanik, namun sebuah kisah sedih, solidaritas, kekeluargaan dan spiritual yang menyatu dalam lakon hidup masyarakat lereng gunung berapi.
Salah satu tokoh wayang bebernya yang ditunjukkan kepada saya adalah Roro Oyi. Tokoh ini adalah dewi yang lahir dari bara api. Bila merujuk dalam cerita pewayangan, maka Roro Oyi seperti Dewi Drupadi, dilahirkan dari api melalui puja semadi. Taufik Kamajaya hanya bilang Roro Oyi adalah dewi api. Kata OYI sendiri mengingatkan sebuah kata yang sering dipakai warga Malang Jawa Timur artinya iya (iyo menjadi bahasa wolak-walik Malang: oyi) atau setuju.
Membincangkan tokoh-tokoh lukisan cat air Wedhus Gembel Taufik Kamajaya, seperti mendengarkan kisah dalang yang sedang memegang wayangnya. Menceritakan setiap tokoh lengkap dengan latar belakang yang melekat pada tokohnya entah baik maupun jahat.
Taufik Kamajaya memiliki cerita panjang yang akan ia lakoni dalam seri wayang gembelnya, namun ia tetap terbuka untuk menceritakan karya-karya yang dihasilkannya. Ketika saya tanya apakah sedang merindu pada sang dewi pujaannya? Taufik hanya ketawa “bisa juga sih….” Jawabnya sambil ketawa.