MALAM yang indah, bulan penuh memunculkan cahaya mengambil gelap diantara surutnya air laut. Cahayanya keemasan memantul di atas ombak-ombak kecil berayun-ayun bagaikan selendang bidadari yang terjatuh mengapung di permukaan air laut. Aku mencoba tengadah, bulan makin bergeser ke atas, dan perlahan-lahan mengubah pola pantulan. Ada cahaya putih yang membentuk figur di antara cahaya bulat terang itu, seperti mengisahkan sekumpulan binatang yang mendapat kehidupan penuh kasih sayang.
Purnama kali ini memang bertepatan dengan perayaan Tri Suci Waisak, di mana vibrasi Buddha secara tidak sengaja mempengaruhiku untuk melihat pancaran kasih sayang (metta) kepada semua mahluk tanpa terkecuali. Metta harus dipancarkan terhadap manusia, tanpa melihat perbedaan, juga kepada hewan tanpa melihat jenis termasuk yang terkecil pun seperti serangga.
Suasana yang demikian hening malam itu benar-benar saya rasakan. Sepulang dari Pantai Sanur, saya merenungkan ketentraman kasih sayang dan cinta kasih. Ketenteraman yang menyangkut pada diri dan semua makhluk hidup tentunya.
Perasaan ini terus berkecamuk, mana kala saya harus mengingat satu karya yaitu Tutur Borobudur pada pameran fotografi Tiga Dasa Warsa, Tiga Sisi Rupa Gustra (Ida Bagus Putra Adnyana) di Bentara Budaya Bali. Karya Tutur Borobudur yang ia kerjakan pada tahun 2009 seolah tanpa kata dapat bercerita dengan sendirinya. Dari adegan seorang penggembala menarik tali yang mengikat leher kambing serta siluet dari kejauhan Candi Borobudur adalah dialog penting yang dapat saya baca sebagai cara Gustra menggugat kasih sayang dan cinta kasih terhadap semua makhluk. Seperti halnya karya-karya yang lain, ia memang seperti membiarkan orang lain bercerita mengenai karya fotografinya dalam kata-kata. Gustra telah menghadirkan peristiwa yang dapat dibaca secara jelas akan maksud dari caranya berkomunikasi kepada publik.
****
Dengan karya Tutur Borobudur, Gustra tampak sedang bergulat dengan sebuah konsep fotografi, bahwa fotografi mampu bertransformasi mengolah batinnya guna menemukan nilai-nilai yang hakiki. Bagaimana ia sampai mempunyai inspirasi untuk mengolah penggembala kambing dengan Borobudur itu: Gustra melihat esensi dari nilai-nilai ajaran Buddha dengan ajaran kasih sayang dan cinta kasih yang ia simbolkan dengan Borobudur dan laku manusia yang menyakiti binatang.
Gustra adalah fotografer yang sensitif dan resah dengan bentuk-bentuk peristiwa yang ia lihat dan rasakan. Pada karya Tutur Borobudur ia terlihat ingin pulang pada cara pandang pribadinya. Ia seolah ingin berdamai meski saya lihat ini adalah sebuah bentuk gugatan yang melebihi sebuah pertanyaan. Saya harus membaca ulang karya ini berkali-kali, karena penafsiran, pencarian dan perumusan makna-makna tidak sesederhana dari hanya melihat keindahan karya. Menurut saya ini adalah penyingkapan dari sebuah tanda menjadi pemaknaan, yang harus saya gali lagi ke mana karya ini akan berbicara.
Kasih sayang dan cinta kasih secara universal memang bisa diekspresikan dalam berbagai makna dan lambang maupun simbol-simbol, tergantung siapa dan bagaimana ia melakukan. Gustra melihat kasih sayang dan cinta kasih dalam Tutur Borobudur adalah persoalan konflik sebagai persoalan antara salah dan benar. Satu sisi kebenaran atas cara pandang kelaziman dan sisi lain kesalahan yang semestinya tidak harus dilakukan. Saya berpikir ia masih mempertimbangkan dampak dari karyanya terhadap masyarakat luas. Bisa saja Gustra menghadirkan adegan lebih sadis yang didialogkan dengan objek Borobudur sebagai karya composite photography. Inilah yang saya sebut jalan damai seorang Gustra. Ia menggugat dengan jalan damai di tengah konflik. Bagi saya ia telah meletakkan 'damai' sebagai wilayah gugatan adalah pertaruhan yang kadang bisa terjebak hanya pada wilayah pembacaan estetis.
Kesadaran dari representasi nilai kasih sayang dan cinta kasih yang dihubungkan dengan realitas berdasarkan dua kombinasi tampilan objek pada karya Tutur Borobudur memang sangat kuat pada keduanya. Artinya makna dari kasih sayang dan cinta kasih yang dikaitkan dengan ajaran Buddha dapat melekat dengan sendirinya. Inilah mirror of reality yaitu refleksi dari sebuah kenyataan.
Kendati bila saya harus mengukur nilai 'yang lebih' dari kasih sayang dan cinta kasih dengan membawa-bawa pengetahuan sebagai ukuran-ukuran kebenaran, maka intepretasi atau pembacaan karya Tutur Borobudur tidak saya tarik ke mana-mana dulu, saya khawatir mungkin justru akan menghablurkan maknanya. Karya ini berhasil memperlihatkan kontekstualitas sebagai sebuah pesan moral. Dan Gustra memang menjadikannya bahwa Borobudurlah yang bertutur.
*****
Begitulah saya membaca atas peristiwa dari karya Tutur Borobudur. Satu adegan yang memperlihatkan betapa manusia ingin sebebas-bebasnya memperlakukan hak-hak binatang. Apa yang semestinya ia dapatkankan dari binatang, seharusnya dikembalikan dengan sikap kasih sayang dan cinta kasih. Gustra mempunyai kritik terhadap animal welfare atau hak-hak kesejahteraan binatang yang dalam dekade terakhir ini marak dibicarakan orang. Maka saya tidak heran lagi bila kasih sayang dan cinta kasih terhadap binatang kali ini harus dihantarkan pada pandangan ajaran Buddha, karena ini menurut saya adalah benar adanya. [yb]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H