Hari masih pagi.
Matahari masih hangat menyinari bumi, belum segarang kalau siang. Angin pagi membelai wajah dengan sepoinya. Kami berdua bersepeda beriringan, mengobrol sambil mengayuh. Ke sekolah.
Saya dan putri saya, si cantik.
Itulah ritual pagi kami. Kadang dengan saya, kadang dengan bapaknya.
Saat itulah saya sadar, betapa mewahnya hidup kami. Bukan karena sepeda yang kami kayuh bermerk tertentu, dengan harga dua digit. Bukan.Â
Sepeda kami hanyalah sepeda tua berusia belasan tahun dengan keranjang penyok bekas terjatuh dan bunyi berderit-derit tiap kali dikayuh dan sepeda lipat mungil yang termurah di kelasnya.
Hidup kami mewah, karena tidak semua anak dan orang tua bisa menikmati sejuk hangatnya pagi seperti kami. Ada anak-anak yang harus bangun pagi buta, bahkan beberapa tidak sempat sarapan, lalu terperangkap dalam udara ac mobil antar jemput atau mobil pribadi, belum lagi ketika macet. Stres di awal hari.
Saat itulah saya ngobrol dengan si cantik. Tahukah dia betapa mewahnya hidupnya?
Bahkan ketika kami harus menghadang kegarangan matahari saat mengayuh sepeda pulang sekolah. Bersimbah keringat. Berpacu dengan terik yang menyilaukan. Tetap lebih mewah dibandingkan diantar sekolah dengan mobil paling mewah dengan ac paling sejuk sekalipun.
Sayangnya, konsep kemewahan seperti itu yang sering kita lupakan untuk kita ajarkan ke anak-anak kita.