Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Daydreammer, as always

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menggoreng, Gurih yang Berakhir Pedih

11 November 2021   14:17 Diperbarui: 12 November 2021   14:16 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menggoreng camilan.| Sumber: Shutterstock/Kazoka via Kompas.com

Pagi hari disodori nasi goreng, sore hari dimanjakan pisang goreng. Begitulah definisi hidup bahagia di negeri ini. Sejak balita kita memang sudah terbiasa dan dibiasakan dengan menu serba gorengan, dari lauk pauk sampai camilan.

Dari tempe goreng yang nyaris setiap hari menghuni meja makan sampai kerupuk goreng yang renyah ringan kriuk-kriuk sebagai camilan wajib. Kita adalah bangsa pecinta gorengan kelas berat karena tiada hari terlewati tanpa gorengan.

Kenapa gorengan begitu populer dan lekat dengan kehidupan masyarakat kita? 

Mungkin salah satu alasannya adalah karena menggoreng adalah cara masak yang paling gampang, cepat, praktis, dan dijamin lezat berasa. Tidak perlu ribet dengan berbagai rempah-rempah, cukup modal direndam air garam saja.

Gorengan memang gurih menggoyang lidah, apalagi kalau digoreng dengan minyak yang meluber-luber sepenuh wajan dan api yang merah bergolak. Seram-seram gurih melihatnya.

Di Indonesia, minyak goreng yang kebanyakan kita pakai adalah minyak goreng kelapa sawit atau biasa dikenal minyak sawit.

Memang ada jenis-jenis minyak goreng yang lain, seperti minyak kelapa, minyak goreng dari bunga kanola, minyak goreng dari jagung sampai minyak goreng dari biji bunga matahari. 

Ada juga minyak zaitun, tapi tidak dianjurkan untuk menggoreng. Tapi berbagai jenis minyak tersebut tidak terlalu populer karena harganya yang jauh lebih mahal dari minyak sawit.  

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan si minyak goreng kelapa sawit ini, justu menurut penelitian minyak goreng sawit atau minyak sawit sangat kaya dengan kandungan vitamin dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.

Kandungan vitamin A dan E nya sangat tinggi, yang menurut para ahli kesehatan dan gizi sangat bermanfaat bagi pencegahan kanker, peningkatan daya tahan tubuh, mencegah penyakit jantung dan pembuluh darah, rabun ayam dan lain-lain.

Keistimewaan lainnya dari minyak sawit adalah komposisi lemak jenuh dan tidak jenuhnya yang seimbang sehingga cukup stabil dibandingkan minyak-minyak goreng jenis lain, dan tidak menghasilkan radikal bebas pemicu kanker.

Lha terus kalau manfaatnya sebanyak itu, kenapa kita malah dianjurkan untuk tidak mengonsumsi gorengan? Itulah ironisnya. 

Dengan semua keunggulannya yang bermanfaat bagi kesehatan itu minyak sawit bisa berubah menjadi monster yang mengancam kesehatan kita ketika dipanaskan dengan suhu tinggi, apalagi berulang-ulang.

Sumber: wigatos.com
Sumber: wigatos.com

Saat dipanaskan, minyak goreng akan mengalami oksidasi yang akan meningkatkan radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas inilah yang mengancam kesehatan kita dari risiko diabetes, jantung, kolesterol, dan lain-lain.

Jadi yang salah sebenarnya adalah proses menggorengnya, bukan minyak sawitnya. Sama seperti halnya tidak ada yang salah dengan suku, agama, dan ras kita yang berbeda-beda, karena Tuhan memang menciptakan kita berbeda-beda. 

Yang menjadi masalah adalah ketika isu SARA itu masuk dalam penggorengan. Digoreng supaya gurih renyah oleh kelompok tertentu dan meracuni kehidupan sosial masyarakat secara masif.

Oke, mari kita kembali ke konteks menggoreng yang sebenarnya. Bisakah kita sama sekali putus hubungan dengan gorengan atau dengan cara memasak menggoreng? Jawabnya, sangat bisa apalagi kalau tidak ada pilihan lain.

Saya bisa menjamin dengan yakin, karena saya pernah pada posisi yang tidak ada pilihan lagi. Iya, benar.

Ceritanya, dulu saya sempat merantau di negara yang tidak menyukai budaya menggoreng. Mereka tidak suka baunya, prihatin dengan cipratan minyak di mana-mana, bukan hanya karena alasan kebersihan tapi juga alasan kemanan. Takut kebakaran. 

Jadi, saya pun harus memutar otak bagaimana caranya memasak masakan yang sudah dikenal baik lidah saya sejak kecil, tapi tanpa harus membuat tetangga bule saya was-was dan bergidik melihat luapan minyak di penggorengan. 

Di sisi lain, saya juga tidak berniat mengalokasikan budget untuk membeli alat-alat masak kekinian, seperti air fryer dan sejenisnya.

Salah satu cara andalan saya adalah menumis sebagai ganti menggoreng. Menumis relatif lebih sehat dan lebih aman dibanding menggoreng, karena tidak perlu minyak goreng yang melimpah-limpah dan suhu tinggi. 

Memang tidak segurih dan serenyah kalau di goreng tapi rasanya masih menggugah selera. Yang lebih penting lagi, saya sekeluarga sehat dan senang, tetangga juga ikutan tenang.

Cara saya yang lainnya adalah memanggang di dalam oven. Ada beberapa 'gorengan' yang saya 'goreng' didalam oven. Sebagai contoh, kalau saya mau masak orek tempe. 

Biasanya khan tempenya di potong kecil-kecil, lalu digoreng dengan minyak dalam penggorengan. Nah sebagai gantinya, potongan tempe itu saya taruh diloyang yang dialasi kertas roti, ditetesi sedikit minyak, lalu di oven sekitar 30 menitan dengan suhu 180 derajat dan panas atas bawah.

Waktu pulang ke tanah air, walaupun sudah terbiasa dengan gaya hidup seperti itu, tapi tetep donk tergoda melihat gorengan gurih dan renyah yang bertebaran sejauh mata memandang. Untuk meredam hasrat akan gorengan yang bergelora, saya pun membeli minyak goreng yang lumayan mahal.

Bukan, tujuannya bukan supaya bisa menggoreng dengan sehat. Tujuannya adalah supaya setiap kali tergoda untuk menggoreng dengan minyak berlimpah saya tidak jadi melakukannya demi mengingat harga minyak goreng super mahal itu. Akhirnya, kembali ke acara tumis menumis lagi.

Sebenarnya saya ingin sekali bisa berbagi resep-resep kreatif yang lezat dan bebas-minyak seperti kompasianer lain yang membuat saya respek dan salut, sayangnya selain tidak hobi masak, saya juga tidak kreatif. 

Jadi, semoga tips-tips sederhana dan anti-ribet dari saya di atas bisa membantu pembaca yang merasa serupa tapi tak sama dengan saya dalam hal mengatasi godaan menggoreng.

Menggoreng memang gurih diawal, tapi berakhir pedih ketika tubuh menyerah oleh hantaman racun radikal bebas, dan dihinggapi berbagai penyakit.

Begitupula yang pernah terjadi di negeri ini ketika sekelompok orang menggoreng isu SARA demi kepentingan tertentu, pedihnya masih terasa sampai sekarang. 

Pedih yang meninggalkan luka dalam tatanan sosial masyarakat yang seharusnya disadari oleh kita semua bahwa memang majemuk sedari mula.

Selamat tengah minggu, semoga semangat hidup sehat tetap dan selalu menggebu. Ingat, jangan tergoda untuk menggoreng, apapun itu, karena pedihnya tak mudah untuk berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun