Keistimewaan lainnya dari minyak sawit adalah komposisi lemak jenuh dan tidak jenuhnya yang seimbang sehingga cukup stabil dibandingkan minyak-minyak goreng jenis lain, dan tidak menghasilkan radikal bebas pemicu kanker.
Lha terus kalau manfaatnya sebanyak itu, kenapa kita malah dianjurkan untuk tidak mengonsumsi gorengan? Itulah ironisnya.Â
Dengan semua keunggulannya yang bermanfaat bagi kesehatan itu minyak sawit bisa berubah menjadi monster yang mengancam kesehatan kita ketika dipanaskan dengan suhu tinggi, apalagi berulang-ulang.
Saat dipanaskan, minyak goreng akan mengalami oksidasi yang akan meningkatkan radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas inilah yang mengancam kesehatan kita dari risiko diabetes, jantung, kolesterol, dan lain-lain.
Jadi yang salah sebenarnya adalah proses menggorengnya, bukan minyak sawitnya. Sama seperti halnya tidak ada yang salah dengan suku, agama, dan ras kita yang berbeda-beda, karena Tuhan memang menciptakan kita berbeda-beda.Â
Yang menjadi masalah adalah ketika isu SARA itu masuk dalam penggorengan. Digoreng supaya gurih renyah oleh kelompok tertentu dan meracuni kehidupan sosial masyarakat secara masif.
Oke, mari kita kembali ke konteks menggoreng yang sebenarnya. Bisakah kita sama sekali putus hubungan dengan gorengan atau dengan cara memasak menggoreng? Jawabnya, sangat bisa apalagi kalau tidak ada pilihan lain.
Saya bisa menjamin dengan yakin, karena saya pernah pada posisi yang tidak ada pilihan lagi. Iya, benar.
Ceritanya, dulu saya sempat merantau di negara yang tidak menyukai budaya menggoreng. Mereka tidak suka baunya, prihatin dengan cipratan minyak di mana-mana, bukan hanya karena alasan kebersihan tapi juga alasan kemanan. Takut kebakaran.Â
Jadi, saya pun harus memutar otak bagaimana caranya memasak masakan yang sudah dikenal baik lidah saya sejak kecil, tapi tanpa harus membuat tetangga bule saya was-was dan bergidik melihat luapan minyak di penggorengan.Â