Ayahku lah yang menjadi alasan aku mendadak pulang ke tanah air, meninggalkan semua yang kucinta di negara empat musim yang sudah hampir satu dekade kutinggali. Teman-temanku, pekerjaaanku dan dia.
Iya, dia. Dia yang namanya selalu membuat Ayahku murka setiap kali disebut ketika beliau masih hidup dulu.
Dia tampan. Dia brilian. Dia menawan. Orang tuanya pun terpandang. Sayangnya, dimata Ayahku dia plin plan. Tidak punya pendirian.
"Dalam tiga tahun pindah jurusan tiga kali hanya karena mendadak berubah pikiran ? Lha gimana nanti kalau kalian menikah dan ditahun kedua dia berubah pikiran ?" Geram Ayahku suatu kali.
Aku diam, tak ada niat mendebat ayahku. Tak juga ingin mencernanya. Aku terlanjur jatuh cinta.
Ayahku tidak lagi membahasnya. Sampai sesuatu yang fatal terjadi.
Disuatu musim semi kami berjumpa. Beberapa musim semi yang lalu. Ayahku, aku dan dia. Pertemuan pertama kami bertiga.
Ayahku perokok berat. Dia bukan perokok. Dia benci rokok.
Ayahku menawarinya cerutu. Ia mengambilnya. Berusaha sekuat tenaga bergaya menghisapnya seakan sudah biasa, tapi justru terbatuk-batuk sampai memerah seluruh wajahnya.
Ayahku hanya tersenyum.
"Maaf Om, saya tidak biasa" kata dia, tanpa melepas cerutu di jarinya.