Dulu waktu masih muda dan single, saya sering sekali nyetir sendiri kemana-mana. Sebagian kecil karena tuntutan pekerjaan, sebagian besar karena hobi.
Saya pernah menyetir sampai pelosok-pelosok pedesaan, tanpa GPS. Keluar kota sendirian pun saya lakoni. Tersesat sering, tapi ya slow saja. Gak ada takutnya.
Karena orang tua berada di kota yang berbeda, dan pacar sedang berada di benua yang berbeda juga, jadi gak ada yang sempat mengomeli saya.
Saya pernah menyetir dengan kondisi rem yang kurang waras, AC mati ketika hujan deras sehingga jarak pandang bukan lagi terbatas karena melihat kaca pun tidak jelas, di jalan tol lagi.
Was-was jelas ada, tapi panik tidak sedikitpun ada.
Sekarang justru kebalikannya.
Lihat truk mepet sedikit langsung panik. Di klakson dari belakang langsung kelabakan, padahal maksudnya bukan mengklakson saya juga. Macet sedikit langsung hati berdebar-debar.
Kalau menyetir tanpa GPS, Â langsung spaneng, bahkan untuk rute yang saya kenal betul dan sering saya tempuh.Â
Saya baru tenang kalau melihat garis merah, kuning atau biru di layar. Suara turn right...turn left  ditelinga saya bak lagu nina bobok dimalam yang indah. Menenangkan maksudnya, bukan malah membuat saya mengantuk.
Begitulah saya dulu dan sekarang. Keberanian (atau kenekatan?) saya tidak lagi se-gegap gempita dulu, bahkan cenderung sebaliknya.