Tapi ibu guru ini lah yang menenangkan saya. Membuat saya melihat dari perspektif yang berbeda.
Kalau sampai ada yang menuduh karya saya jiplakan dari majalah remaja yang paling top waktu itu, berarti karya saya kualitasnya memang setara dengan karya-karya lain di majalah itu. Begitu kata beliau.
Terimakasih, Bu.
Waktu SMA, dari saya yang dulunya paranoid dengan matematika, menjadi tergila-gila dengan matematika, karena metode mengajar  bapak guru matematika yang super keren dan out of the box.
Jadi, sebelum otak saya kram dijejali berbagai teori dan soal-soal matematika yang rumit, beliau lebih dulu menyodorkan masalah sehari-hari yang hanya bisa diselesaikan dengan metode dan persamaan matematika tertentu.
Itu yang akhirnya membuat saya melihat soal matematika dengan perspektif yang sebaliknya, dan akhirnya mencintainya. Bahkan rela begadang segala.
Terlanjur cinta :)
Metode beliau ini saya tiru - tiru habisan, terutama dalam mengasuh putri saya.
Bangkitkan dulu rasa ingin tahunya, bukan sekedar dijejali dengan hal-hal baru, dengan begitu dia belajar dengan rasa cinta dan sukacita.
Itu cerita saya.
Cerita putri saya berbeda.
Tapi cerita putri saya-lah yang membuat saya sadar peran guru dalam kehidupan anak didik itu jauh lebih besar dan lebih signifikan dari yang saya pikirkan sebelumnya.