".... Nanti kalau pertanyaan lanjutan, kalau ada ulama disertifikasi, lha trus nanti pastur.. pendeta.. apa yang terjadi di negeri kita.. Mau jadi apa?" Demikian perkataan Zulkifli Hasan, Ketua MPR RI, dalam acara Indonesia Lawyer Club pada hari Selasa, 22 Mei 2018.
Pernyataan ini mengisyaratkan adanya pertanyaan kalau ulama disertifikasi, bagaimana dengan sertifikasi para Pastor dan Pendeta. Dalam skala yang lebih menukik: adakah sertifikasi untuk para Pastor?
Jenjang pendidikan para pastor bukanlah jenjang pendidikan yang instan. Belajar sebentar lalu ditahbiskan menjadi pastor. Jenjang pendidikan dimulai dari Seminari Menengah dan Seminari Tinggi.
Pendidikan Seminari Menengah ditempuh selama 4 tahun. Pendidikan Seminari Tinggi ditempuh antara 7 atau 8 tahun. Bahkan, bisa lebih jika praktek pastoral mengalami perpanjangan. Berbagai cabang ilmu filsafat dan teologi harus diselesaikan menurut standart yang telah ditetapkan.
Diakhir pendidikan, para calon masih harus menyelesaikan pendadaran utk memastikan mampu atau tidaknya mengemban tanggung jawab pelayanan yang akan diberikan.
Setelah semua tahap pendidikan selesai, barulah seorang calon ditahbiskan menjadi seorang pastor. Buktinya? Ada selembar kertas seukuran KTP yang diterima sebagai bukti bahwa ia seorang pastor. Kartu ini biasa disebut celebret, semacam surat ijin misa. Layaknya SIM, kartu selebret ini juga memiliki masa berlaku: 5 tahun.
Halaman depan berisi identitas pemilik kartu. Sementara halaman belakang berisi rekomendasi untuk pemilik kartu. Rekomendasi ini ditulis dalam 3 bahasa: Indonesia, Ingris, dan Latin. Bagian pertama rekomendasi untuk merayakan Ekaristi:
"Dengan ini, sesuai canon 903, kami merekomendasikan supaya ia diijinkan memimpin perayaan Ekaristi"
"Herewith I assure you, according to norm of canon 903, that he is allowed to celebrate the Eucharist"
"Ille ad celebrandam Eucharistiam admintatur ad normam canon 903"
Bagian kedua, rekomendasi untuk menerima pengakuan dosa