Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kontrak Politik Ahok-PDIP Janggal

21 September 2016   23:15 Diperbarui: 21 September 2016   23:42 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah menarik bahwa Om Harja melihat kejanggalan dalam kontrak politik yang telah ditandatangani Ahok sesaat setelah dicalonkan sebagai calon Gubernur DKI oleh PDIP dan berpasangan dengan Djarot. Saya sangat awam dalam hal hukum, tetapi tulisan tersebut menggelitik perhatian. Ada beberapa point yang disampaikan dalam artikel tersebut. Dan saya tergerak untuk memberikan tanggapan atas tulisan yang nangkring di HL tersebut.

Pertama, maksud tersembunyi di balik artikel. Sebelum saya masuk dalam point-point tersebut, saya justru tertarik dengan tanggapan yang diberikan Om Harja pada kolom komentar. Dikatakan bahwa karena dicantumkan dalam kontrak politik, tentu ada penekanan tertentu. Kalau patuh sama hukum ya semua orang juga tahu itu, tidak usah dicantumkan di kontrak politik. Inilah tanggapan yang paling menarik dari tanggapan-tanggapan yang diberikan.

Saya membaca tanggapan ini dari kacamata om Harja yang adalah salah satu staff ahli di DPR. Bagi Om Harja, meski makna penegakan hukum dimaknai secara arti luas, misalnya patuh pada hukum, tidaklah perlu dimasukkan dalam kontrak politik. Mungkin Om Harja lupa bahwa situasi dan kondisi hukum di Indonesia sedang tidak berdaya. Jika dibaca dalam konteks ini, tentu point ke-10 itu justru memiliki makna yang sangat kuat. Sebuah seruan yang demikian berarti untuk terus menerus didengungkan.

Atau bisa jadi, dibalik artikel itu Om Harja ingin menyampaikan sesuatu dibalik kata “ada penekanan tertentu”. Apakah Om Harja hendak menunjukkan bahwa point 10 bermuatan politis?  Sayang, tidak ada yang gamblang dalam artikel tersebut. Hanya ada petunjuk di paragrap terakhir. Tetapi, itu pun masih abu-abu.

Kedua, penegakan hukum merupakah wilayah yudikatif? Dengan menunjuk yudikatif, berarti Om Harja memaknai penegakan hukum secara sempit. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH mengatakan bahwa penegakan hukum secara sempit, yaitu dari sisi subyek, adalah upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Padahal, penegakan dari sisi subyek juga bermakna luas. Siapa pun yang bertindak berdasarkan norma aturan hukum yang berlaku, orang tersebut telah menegakkan hukum.

Salah satu contoh yang bisa dikembangkan: gubernur patuh pada aturan untuk tidak mencampuri sebuah proses penegakan hukum. Dan itu sesuai dengan kalimat berikut: “Jika eksekutif ikut campur dalam proses penegakan hukum, ini petaka bagi bangsa. Presiden saja tidak boleh ikut-campur dalam sebuah proses hukum. Apalagi Gubernur. Lembaga hukum harus independen dari kepentingan politis, murni harus berdasarkan bukti dan mekanisme hukum yang diatur oleh hukum normatif.”

Bisa dikatakan bahwa sebagain besar orang melihat penegakan hukum selalu berkaitan dengan tindakan dari aparat penegak hukum atas individu yang melanggar hukum. Padahal, menurut Jimly, penegakkan hukum merupakan setiap upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum menjadi pedoman perilaku. Pandangan beberapa ahli lain yang kurang lebih senada bisa dibaca di SINI.  

Ketiga, penegak hukum? Dalam hal ini, Om Harja konsisten. Karena point pertama menggunakan sudut pandang penegakan hukum secara sempit, maka penjelasan lebih lanjut di point kedua pun masih dalam arti sempit. Dan para pembaca tentu mengamininya.

Adalah menarik membaca artikel Jimly. Pada bagian akhir artikelnya, ada catatan kritis yang diberikan. Dibutuhkan dukungan administratif hukum yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintah (eksekutif) yang bertanggung jawab. Catatan kritis ini diberikan untuk memecahkan persoalan bagaimana masyarakat bisa mengakses aneka produk hukum. Jika tidak bisa, bagaimana masyarakat bisa taat pada peraturan yang tidak diketahuinya?

Berkat tulisan Om Harja, akhirnya saya menjadi paham, bahwa persoalan penegakan hukum tidak hanya dimaknai secara sempit. Penegakan hukum juga bermakna luas. Anda dan saya bisa ikut ambil bagian dalam upaya penegakan hukum itu.

 Maka, membaca poit ke-10 dari kontrak politik Ahok-PDIP rasanya tidak ada yang janggal. Apalagi jika ditempatkan dalam konteks carut marutnya persoalan hukum di Indonesia ini. Saya justru melihat, point tersebut relevan untuk dijalankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun