Tantangan Kompasiana kali ini menarik saya. Biasanya sih malas ikutan tantangan-tantangan seperti ini. Berhubung topiknya menggelitik, jadi ikutan. Sejauh saya membaca, topiknya adalah “saatnya Dewan Perwakilan Daerah didengarkan”. Sejenak saya berpikir, apa maksud topik itu. Siapa yang harus mendengarkan DPD?
Awalnya, saya berpikir bahwa DPD harus didengarkan oleh rakyat. Tapi kok rasanya aneh ya? Masak DPD minta didengarkan rakyat? Oleh karenanya, pikiran itu saya buang jauh-jauh. Bukan rakyat yang harus mendengarkan DPD sebab suara rakyat di daerahlah yang diwakilkan melalui DPD. Harusnya DPDlah yang mendengarkan rakyat di daerah untuk mendapatkan aneka aspirasi dan kemudian diperjuangkan.
Setelah utak-atik pakai logika yang cupet ini, saya berpikir kalau yang mesti mendengarkan DPD itu justru DPR sebab merekalah yang bisa menelurkan sebuah produk perundangan-undangan. Kalau DPR mau mendengarkan DPD, maka fungsi-fungsi DPD akan menjadi semakin kuat. Akhirnya, terjadi sebuah perubahan makna DPD dari Dewan Pertimbangan DPR menjadi Dewan Perwakilan Daerah.
Sejatinya, peran DPD sangatlah strategis. DPD adalah badan legistatif yang semestinya mendampingi dan memperkuat kakaknya yang terlahir lebih dahulu, yaitu DPR. Keduanya menjadi lembaga perwakilan. DPR merupakan cerminan representasi warga sedangkan DPD menjadi cerminan representasi daerah. Seturut undang-undang, keduanya berada pada posisi sejajar. Dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 hasil amandamen disebutkan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang”. Apakah faktanya demikian?
Peran DPD dapat dilihat dalam pasal 22D ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 hasil amandamen. Dalam pasal 22D tersebut DPD berwenang untuk mengajukan, membahas, dan melakukan pengawasan atas rancangan undang-undang tertentu. Lucu ga sih? DPD sebagai partner DPR tetapi fungsi-fungsinya lembek. Artinya, sama sekali tidak disebutkan bahwa DPD memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-undang. Apa enggak lembek itu namanya?
Saya membayangkan begini. Anggota DPD itu menyerap aspirasi dari daerahnya masing-masing. Para anggota DPD itu, entah turun langsung ke masyarakat atau melalui berbagai masukan, berusaha mengumpulkan aneka persoalan di daerah. Setelah itu, mereka harus capek membuat laporan tertulis, membahasnya di sidang paripurna DPD untuk kemudian ditindaklanjuti. Belum berhenti disitu lho prosesnya. Temuan-temuan DPD yang sudah dibahas dan diputuskan di rapat paripurna DPD masih harus diserahkan kepada DPR untuk ditindaklanjuti.
Saya mencoba mencari landasan hukumnya. Saya menemukan Undang-undang nomer 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ternyata ya hanya sampai disitu saja kewenangan DPD. Tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana tindaklanjut dari mekanisme tersebut.
Jika wewenang DPD menurut Undang-undang saja masih terbatas seperti itu, kiranya hanya menjadi mimpi saja ketika DPD ingin didengarkan. Untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang berada di daerah-daerah dibutuhkan kewenangan yang kuat. Embrio kewenangan dan legitimasi itu sudah ada sih, sayangnya belum terimplikasi dalam sebuah produk undang-undang. Embrio kewenangan dan legitimasi DPD berasal dari fakta bahwa mereka dipilih langsung mewakili daerah pilihannya.
Slogan “saatnya DPD didengarkan” harus diikuti dengan sebuah gebrakan yang radikal, yaitu mengubah Undang-undang untuk menjamin kewenangan DPD secara maksimal. Jika selama ini DPD hanya melaporkan hasil pengawasan kepada DPR dan menjadi bahan pertimbangan saja, kini harus diperjuangkan secara maksimal supaya DPD memiliki wewenang untuk menindaklanjuti hasil pengawasan. Ini hanya bisa terjadi kalau ada perubahan atas perundang-undangan yang ada.
Hal ini penting, mengingat wewenang DPR sangatlah besar. Salah satu biasnya adalah kepentingan daerah sering terabaikan. Menguatnya wewenang DPD menjadikan akses daerah ke pusat mendapat tempat. DPDlah tempat bagi daerah untuk menyalurkan aspirasinya. DPR tidak perlu was-was ketika wewenang DPD semakin menguat. DPR tidak perlu galau akan hal ini. Justru meningkatnya wewenang DPD ini justru akan berakibat positif bagi kepentingan dan perkembangan daerah.
Inilah saat DPD didengarkan oleh DPR bahwa DPD adalah mitra bukan saingan. DPD bersama DPR harus berjuang demi rakyat sebagaimana sering dikatakan sendiri oleh para wakil rakyat. Untuk itu, kepentingan DPD harus diperjuangkan oleh DPR dalam bentuk produk undang-undang yang memperkuat wewenang DPD. Hanya dengan Undang-undang, DPD akan mendapatkan legalitas untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Dengan demikian, mimpi DPD untuk didengarkan akan menjadi nyata. Dengan demikian pula, DPR tidak lagi menjadi badan pertimbangan DPR, tetapi akan berfungsi sebagaimana mestinya yaitu Dewan Perwakilan Daerah.
sumber foto: Widianto Didet, Kampret
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H