Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika Parpol Menyusu Rakyat

29 Januari 2014   09:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390961664923781091

[caption id="attachment_292706" align="aligncenter" width="648" caption="kampret.dok (ysw)"][/caption]

Atas nama pencegahan kecurangan pemilu, Pemerintah sedang menggodok peraturan yang akan mengatur pembiayaan terhadap saksi-saksi yang bertugas di tempat pemungutan suara pada pemilu mendatang. Selain untuk mencegah kecurangan, ide pendanaan saksi dari APBN ini juga ditujukan untuk mengurangi beban partai politik.

Betapa mencengangkan mendengar dan membaca berita ini. Spontan muncul pemikiran tentang carut-marut perpolitikan di Indonesia ini. Katanya, partai politik itu berjuang demi dan bersama rakyat. Tapi mengapa partai politik menghisap dan menyusu kepada rakyat?

Jika biaya itu dibebankan APBN, dari manakah uang APBN itu? Jatuh dari langitkah? Dari hutangkah? Atau sumber pemasukan negara berasal dari rakyat yang berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat yang taat membayar pajak? Enak saja Pemerintah menggunakan dana yang sebagian besar dari rakyat itu sebagai bancakan partai politik. Siapa yang bisa menjamin bahwa jika ide itu direalisasikan tidak terjadi penyimpangan?

Pertama, alasan yang digunakan adalah untuk mencegah kecurangan. Mari berpikir secara sehat dan cerdas. Di manakah letak kecurangan pemilu? Apakah kecurangan terjadi di tempat pemungutan suara? Rasa saya tidak demikian. Pemerintah, dalam hal ini Bawaslu dan KPU perlu mencermati dan belajar dari pengalaman masa lalu, yaitu data pelanggaran pemilu ataupun pemilukada sebelumnya. Jika mau jujur, pelanggaran tidak terjadi di tempat pemungutan suara. Pelanggaran atas pemilu terjadi pada dua titik, yaitu pada daftar pemilih dan penghitungan suara di tingkat yang lebih tinggi.

Hampir setiap kali diluncurkan daftar pemilih, kita akan menjumpai nama-nama yang unik. Misalnya sudah meninggal, masih di bawah umur, nama ganda, dan lain sebagainya. KPU perlu bekerja keras untuk menangani masalah ini sehingga kekurangan daftar pemilih semakin diminimalisir. Dengan demikian, proses pemilu menjadi lebih efektif dan efisien.

Logika sederhana ingin saya ketengahkan untuk menunjukkan bahwa kecurangan tidak terjadi di tempat pemungutan suara namun di tempat penghitungan suara yang lebih tinggi. Berapa sih jumlah pemilih di setiap tempat pemungutan suara? Jumlah pemilih itu masih bisa di-cover dan diawasi dengan mudah. Dengan demikian, tidak mudah memainkan angka-angka di tempat pemungutan suara. Permainan angka jumlah pemilih lebih mudah terjadi di tingkat yang lebih tinggi, kecamatan misalnya. Karena, jumlah suara yang bisa dimainkan lebih besar.

Untuk itu, memperkuat pengawasan saksi di tempat pemungutan suara tidak begitu signifikan untuk menekan terjadinya kecurangan-kecurangan penghitungan suara. Karena tidak signifikan, pendanaan saksi oleh Pemerintah hanya menjadi sebuah pemborosan uang negara semata. Berapa banyak uang negara yang harus dihamburkan untuk membiayai saksi? Tinggal dihitung saja bukan? 100.000 x jumlah tps x jumlah parpol plus 2 saksi bawaslu. Jumlah dana bisa mencapai lebih dari Rp. 100.000.000 lebih jika saksi untuk calon DPD juga dibiayai oleh pemerintah. Biaya itu bisa lebih membengkak lagi ketika 3 partai lokal di Aceh juga dihitung. Menurut catatan website PPP: Seperti diketahui, Bawaslu menganggarkan Rp 700 miliar untuk saksi 12 partai politik (parpol) dan Rp 800 miliar untuk gerakan sejuta relawan dan mitra Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Anggaran sebesar Rp1,5 triliun tersebut tertuang dalam penganggaran di Kementerian Keuangan.

Kedua, mengurangi beban partai politik. Rencana kebijakan Pemerintah untuk mengambil alih pembiayaan saksi parpol semakin menegaskan kepada masyarakat bahwa partai politik belumlah mandiri. Biaya politik di Indonesia itu mahal. Tidak mengherankan jika banyak partai politik yang terlibat dalam praktek korupsi. Seorang politisi mengatakan, “Dua tahun pertama akan digunakan untuk mencari pengganti modal. Dua tahun sisanya akan dibuat untuk mencari uang buat pemilu mendatang”. Jika sudah tahu situasi seperti itu, mengapa masih juga masuk ke dalamnya? Pepatah Jawa kiranya pas disematkan “aja cedhak kebo gupak”.

Ketidakmandirian partai politik ini akan berkebalikan ketika kita melihat dan mengamati iklan-iklan yang membanjiri media masa. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk membuat dan menayangkan iklan-iklan tersebut? Bayar iklan saja mampu, mengapa merasa keberatan membayar saksi?

Mengamati dan mencermati berbagai komentar para politisi, entah sebagai pendapat pribadi atau pendapat partai, kiranya semakin memperjelas anggapan sebagian masyarakat bahwa perpolitikan di Indonesia tidak ubahnya sebuah panggung dagelan semata. Dan dalam setiap dagelan yang dipentaskan selalu ada mantra ampuh: demi rakyat. Apakah rakyat merasa terhibur dengan pentas dagelan itu? Anda bisa menjawabnya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun