[caption id="attachment_186352" align="aligncenter" width="594" caption="sebuah pola relasi (dok.pri)"][/caption]
Pagi itu, dalam suasana pesta sederhana, mataku tertuju pada aktifitas seorang ibu dan anaknya. Dengan lahap, sang anak memakan makanan dari suapan sang ibu. Sebuah pemandangan yang membuat hati ini trenyuh. Di zaman ini, masih ada suasana lain yang mampu aku tangkap, yaitu sebuah relasi mendalam seorang ibu kepada anak dan sebaliknya. Dalam peristiwa sederhana itu, aku menangkap sesuatu yang luar biasa, yaitu tentang pola pendidikan.
Untuk anak seusianya, berada bersama-sama dengan orang tua bukan hal nyaman. Tetapi anak itu terlihat menikmati kebersamaan dengan orang tuanya. Ketika disuapi pun, sang anak tidak terlihat canggung atau malu jika dilihat oleh teman-teman lain. Ini bukan soal anak manja atau sejenisnya. Tetapi di mata saya, ini adalah sebuah buah pendidikan di tengah keluarga.
[caption id="attachment_186353" align="aligncenter" width="432" caption="menjadi autis (dok.pri)"]
Rasa saya, kemajuan zaman telah menciptakan manusia-manusia autis yang sibuk dengan dirinya sendiri. Kita bisa membuktikannya atau bahkan kita bisa melihat pada diri sendiri. Seberapa sering kita melihat orang yang menggunakan motor atau mobil sambil mainan handphone? Seberapa sering kita melihat kerumunan orang yang sedang asyik dengan dirinya sendiri, entah mainan hape, laptop, atau yang lainnya. Semakin maju zaman ini, semakin manusia menjadi terasing dengan sekitarnya.
Apakah kondisi seperti itu berkaitan erat dengan sistem pendidikan di Indonesia? Entah banyak entah sedikit, sistem pendidikan turut menyumbang peran di dalamnya. Sistem pendidikan tak lagi menengok aspek pembentukan mentalitas dan karakter anak bangsa. Kalau boleh jujur, pendidikan saat ini telah membelenggu, memenjarakan, bahkan menjajah anak bangsa. Pendidikan tak lagi memberi ruang pada ekspresi, imaginasi, kreativitas, apalagi pembentukan karakter. Lalu kemana arah pendidikan indonesia saat ini. Pendidikan telah berubah dari ruang bebas menjadi ruang sempit, yaitu sebatas standart kompetensi yang bersifat kognitif. Buktinya? Terlalu banyak untuk disebut. Apa standar kelulusan di negeri ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah nilai dalam bentuk angka.
[caption id="attachment_186354" align="aligncenter" width="540" caption="bermain layang-layang (dok.pri)"]
Jadi teringat saya dengan masa kecil. Bermain layang-layang buatan sendiri adalah sebuah kebanggaan. Bukan sekedar layangan yang membeli, tetapi membuat sendiri. Betapa mengasyikkan bermain mobil-mobilan dari tanah liat atau kulit jeruk bali. Bukan mobil-mobilan yang didapat dari membeli. Keliahatannya sepele, tetapi sejak kecil daya kreatifitas telah diasah. Bukan sekedar memakai, tetapi melajar mencipta. Ketika layang-layang yang dibuat tidak berhasil terbang, seluruh kemampuan dikerahkan hingga akhirnya mampu mmebuat layang-layang yang mampu terbang tinggi dengan tenang. Masih adakah situasi seperti itu pada zaman ini?
Pendidikan karakter telah direduksi pada deretan angka-angka yang tertera pada raport atau ijasah. Akibatnya, berlomba-lombalah untuk menampilkan diri sebagai sekolah terbaik dengan angka kelulusan dan nilai yang tinggi. Hal ini menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah sekolah. Benarkah? Rasaku tidak. Bukannya mencetak murid yang cerdas pandai, tetapi justru mencetak generasi stress. Beban sekolah yang tinggi masih diikuti dengan tuntutan dari orang tua yang demikian luar biasa. Selesai sekolah, aneka macam les seturut selera orang tua telah menanti. Semakin genaplah penderitaan seorang anak.
[caption id="attachment_186355" align="aligncenter" width="540" caption="munculnya generasi-generasi stres (dok.pri)"]
Tidak jarang, cita-cita orang tua diterapkan pada anaknya. Misalnya, orang tuanya dulu punya cita-cita ingin menjadi seorang model, tetapi karena tidak bisa jadilah anaknya dimasukkan ke kursus modeling. Syukur jika anaknya tertarik ke dunia itu. Jika tidak? Situasi seperti ini akan semakin diperparah ketika selesai sekolah anak sudah “dipaksa” untuk mengikuti les mata pelajaran. Alasannya baik, supaya nilai anak baik. Tetapi apakah itu yang terbaik?
Anak memiliki dunianya sendiri, yaitu bermain. Itulah sisi humaniora yang sering tidak ditangkap oleh orang tua. Akibatnya, dunia itu dirampas dari hidup mereka. Alasannya, bermain hanya akan mengurasi waktu belajar dan mengganggu sekolah. Benarkah? Persoalannya bukan soal bermain atau belajar, tetapi terletak pada pola pendidikan yang kemudian digunakan. Prinsip pendidikan adalah interaksi. Di dalam pendidikan terdapat relasi kuat antara anak dan guru atau antara anak dan “pelajaran”. Banyak orang tua lupa atau bahkan tidak tahu bahwa permainan dapat menjadi sebuah mata pelajaran berharga bagi anak. Melalui permainan anak bisa tumbuh dan berkembang seiring dengan pendidikan formal yang didapatnya di sekolah.
[caption id="attachment_186356" align="aligncenter" width="540" caption="biarkan anak tumbuh dan berkembang, bukan keinginan orang tua yang dipaksakan ke anak (dok.pri)"]
Kehilangan waktu belajar? Disinilah peran orang tua untuk mendampingi anak-anak. Faktanya, berapa banyak waktu yang digunakan untuk mendampingi? Situasi yang saya gunakan sebagai ilustrasi di awal adalah cerminan betapa mendalamnya relasi antara anak dan orang tua.
Sebagai penutup celotehan ini, saya mengutip sebuah kalimat iklan: “Buat anak kok coba-coba!” Hendak diterjemahkan seperti apa kalimat ini?
[caption id="attachment_186357" align="aligncenter" width="388" caption="lamunan sang anak (dok.pri)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H