Peristiwa meletusnya Gunung Merapi tahun 2010 silam meninggalkan banyak cerita, entah sedih atau pun bahagia. Kisah-kisah itu terbalut dalam ingatan dan takkan terlupakan. Dari sekian banyak kisah itu, ada satu kenangan yang hingga kini masih terekam dengan baik dalam ingatanku. Sebuah kisah yang demikian luar biasa.
[caption id="attachment_165933" align="aligncenter" width="630" caption="jika merapi batuk.... "][/caption]
Secara kebetulan, tempat tinggalku digunakan untuk menampung pengungsi sekitar 165 orang dari lereng Barat Merapi. Ada aula cukup besar yang bisa menampung mereka. Pengungsi sebanyak itu berasal dari satu dusun sehingga lebih mudah untuk memberikan pelayanan dan perhatian kepada mereka. Oleh karena itu, kami pun memiliki keleluasaan untuk membantu saudara-saudara lain yang masih membutuhkan bantuan, terutama mereka yang tinggal di pos-pos tak terjangkau oleh Pemerintah.
Mengingat pekerjaan dan pelayanan yang tidak singkat, dibutuhkan ketahanan dari para relawan. Lamanya pelayanan bisa menimbulkan kejenuhan dan gesekan satu dengan yang lain. Banyak trik dan cara untuk tetap menumbuhkan gairah para relawan. Maklum saja, tidak ada seorang pun relawan di posko kami yang mendapat insentif. Semuanya tergerak secara suka rela. Kami melayani dengan hati. Oleh karena itu, saya merumuskan sebuah slogan NEMU. Kependekan dari Nesu Muliha [Marah, pulanglah!]. Ketika mulai terlihat tanda-tanda emosi meninggi, istilah itu cukup manjur untuk meredakan suasana. Sembari bergurau, slogan itu mampu mendinginkan suasana di antara para relawan.
Menjadi relawan memang bukan hanya membutuhkan kemauan, tetapi juga membutuhkan hati. Dengan demikian, pelayanan yang dilakukan sungguh tulus. Relawan dengan hati itu sangat berguna ketika saya merasa lelah dan capek menjalani rutinitas. Juga berguna ketika menghadapi medan sulit ketika sedang bertugas.
Seperti yang saya alami sendiri bersama beberapa relawan lain. Sembari melayani para pengungsi yang berasal dari Dusun Diwak, Dukun, Magelang kami juga melayani pos-pos pengungsian lain yang meminta bantuan ke pos kami. Suatu hari, saat hujan gerimis, datang beberapa orang membawa daftar kebutuhan yang mereka inginkan. Mulai dari kebutuhan beras sampai pakaian ada dalam daftar kebutuhan yang mereka tulis. Mereka turun dari pos pengungsian berboncengan dengan menggunakan sepeda motor.
Setelah mengadakan pembicaraan, kami memutuskan untuk membantu mereka. Mengingat kondisi mereka yang tidak mungkin membawa kebutuhan yang mereka butuhkan, kami berjanji untuk mengantarkkan logistik yang mereka butuhkan. Mereka pun pulang dengan wajar berseri. Setelah itu, kami berkoordinasi untuk membawa bantuan logistik itu ke tempat yang akan dituju. Saya termasuk di dalam tim yang mengantar bantuan tersebut.
Setelah semua kebutuhan siap, kami berangkat menuju titik lokasi. Hujan deras mengguyur sehingga kami harus ekstra hati-hati. Meski jalan beraspal, tetapi aspal itu taktampak lagi. Yang ada adalah timbunan debu bercampur pasir. Ketika kena air hujan, jalanan menjadi licin. Takjarang, mobil yang kami pakai seperti berjalan sendiri secara tak terkendali. Licinnya jalanan menjadikan kami tidak bisa optimal menguasai laju kendaraan. Pelan-pelan dan ekstra hati-hati adalah pilihan bijaksana untuk mengatasi kondisi alam yang sedang tidak bersahabat.
Mendekati tempat tujuan, hujan reda. Tinggal gerimis rintik-rintik saja. Sampai di sebuah perempatan, kami semua bingung. Jalan mana yang harus kami lalui untuk sampai ke titik yang kami tuju. Kami pun terpaksa turun untuk bertanya kepada orang yang kebetulan sedang berteduh. Ternyata titik tujuan sudah dekat. Orang itu berpesan untuk hati-hati karena kami akan melewati tanjakan yang cukup berbahaya.
Benar saja. Setelah beberapa lama melanjutkan perjalanan, kami melihat jalan menanjak di depan kami. Kami berhenti sejenak. Menghitung kemampuan apakah kendaraan mampu melewati jalur itu atau tidak. Akhirnya sopir memutuskan berani naik. Ekstra hati-hati karena jalanan amat licin setelah terguyur air hujan. semakin menanjak, semakin susah jalur yang harus kami lalui. Mobil pun semakin susah untuk dikendalikan. Jalannya mulai terasa zig zag. Teman di sebelahku sudah komat-kamit membaca doa mohon keselamatan. Teman yang mengemudi pun mulai terlihat tegang. Keringat dingin mulai terlihat.
[caption id="attachment_165934" align="aligncenter" width="630" caption="terima kasih Tuhan... "]
Dari kaca spion mobil aku memperhatikan mobil yang mengikuti di belakang kami. Jalan mobil tampak zig zag. Tiba-tiba, mobil itu meluncur turun dengan cepat. Kejadian demikian cepat. Mobil itu terhenti setelah menabrak dinding. Teman yang ada dibelakang sudah berteriak histeris emlihat mobil yang di belakang meluncur tak terkendali. Dengan susah payah, kami pun berhenti. Jalan yang masih menanjak tak kami hiraukan. Kami segera turun dan bergegas melihat kondisi mobil itu. Untunglah teman-teman yang ada di dalam dalam keadaan baik.
Hufttt... Lemas rasanya. Lutut ini seperti copot. Tetapi setelah melihat keadaan teman-teman yang selamat, ada sukacita terpancar di wajah kami. Setelah kami menjadi tenang, kami pun berusaha mengangkat mobil. Setelah berjuang keras, mobil itu bisa diangkat. Tidak ada kerusakan parah. Perjalanan pun dilanjutkan setelah terjadi pergantian sopir. Teman yang tadi nyetir masih shock berat. Setelah berjuang melewati medan yang sulit akhirnya kami sampai ke lokasi dan disambut dengan suka cita. Kami pun merasa bahagia bisa sedikit membantu mereka.
Sembari minum teh hangat yang disuguhkan, kami mengulang pengalaman dasyat yang baru saja kami lalui. Menjadi relawan takcukup hanya bermodal mau. Menjadi relawan harus dengan hati. Meski nyawa menjadi taruhannya, tetapi semua itu dilakoni dengan penuh suka cita. Terima kasih, ya Tuhan, aku boleh berbuat sesuatu untuk umat-Mu. Meski kecil dan sederhana tapi kami membuatnya dengan penuh suka cita dan sepenuh hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H