Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

[Bom Bunuh Diri] Koyaknya NKRI

26 September 2011   05:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:36 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_137482" align="aligncenter" width="680" caption="sang dwi warna yang tercabik"][/caption]

Mengamati berbagai komentar yang muncul dalam mensikapi kasus bom bunuh di yang terjadi di GBIS Kepunton Solo pada hari Minggu, 25 September, kemarin ada benang merah yang saya tangkap. Setidaknya ada 2 benang yang cukup kuat.

Pertama, kelompok orang yang memandang peristiwa tersebut sebagai sebuah alat untuk mengalihkan isu-isu panas yang sedang bergulir di negeri ini. Sebagaimana telah lazim terjadi, setiap ada persoalan besar yang membelit para petinggi negara selalu muncul peristiwa besar yang mengguncangkan. Sementara kasus-kasus korupsi sedang menggila, muncullah persoalan bom bunuh diri di Solo. Semua mata tertuju ke Solo. Hampir semua mass media memberitakan peristiwa Solo. Jakarta terlupakan.

Kalau dirunut, pandangan ini akan menempatkan peristiwa Solo dalam motif politis. Motif yang selalu terulang, menjadikan masyarakat semakin yakin pula pada gagasan pengalihan isu ini.

Kedua, kelompok orang yang memandang peristiwa itu sebagai bagian dari aksi terorisme dengan latar belakang agama. Pendapat ini semakin menguat ketika Mr President menyebutkan bahwa pelaku bom bunuh diri di Solo terkait dengan kelompok teroris di Cirebon. Lokasi kejadian yang adalah tempat ibadah juga menjadi faktor penting dalam memicu pemikiran bahwa peristiwa tersebut bermotif agama.

Lepas dari 2 benang merah itu, rasa saya peristiwa bom bunuh diri itu telah mencabik-cabik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetesan darah yang telah ditumpahkan oleh para pejuang negeri ini seolah tanpa arti. Para pejuang negeri ini telah mempertaruhkan nyawanya untuk menjaga kesatuan negeri ini tetapi kini seolah tanpa bekas. Semboyan “sedumuk bathuk, senyari bumi” sudah tak dikenal lagi. Akibatnya, penggerogotan kedaulatan dan kesatuan negara semakin meraja lela. Idealisme NKRI terinjak-injak justru oleh warganya sendiri. Mungkin, para pejuang kemerdekaan akan menangis melihat tanah air yang telah dibela hingga titik darah penghabisan telah digadaikan demi sebuah kepentingan kelompok atau individu.

Rasanya saya, yang paling bertanggung jawab pada peristiwa-peristiwa seperti ini adalah pemerintah. Pemerintahlah yang bertanggung jawab. Lembeknya kinerja pemerintah akan semakin mempercepat tumbuhnya gerakan-gerakan seperti bom bunuh diri itu. Alangkah naifnya ketika pemimpin NKRI ini, yang dipilih mayoritas masyarakat, “hanya” mengatakan ancaman terorisme masih ada dan nyata di negeri ini. Olah karenanya, rakyat harus dilindungi. Tidak harus menjadi seorang Mr President untuk mengatakan seperti itu.

[caption id="attachment_132248" align="aligncenter" width="630" caption="rebutANT semakin nyata, merah putih semakin pudar"][/caption]

Pemerintah pun sering inkonsisten dalam berpikir. Ketika ada kemajuan di negeri, apa yang terjadi. Dengan cepat dan sigap, pemerintah akan segera mengklaim sebagai keberhasilan kinerja pemerintah. Sayangnya, cara pikir ini tidak berlaku kebalikannya. Ketika negara ini carut marut, pemerintah cenderung normatif. Ketika terjadi tragedi keagamaan, pemerintah tidak berani mengatakan: “Ini adalah kegagalan kami!” Pemerintah memang tidak menentukan dan mencampuri agama, tetapi pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin hak beragama bagi masyarakat. Ketika jaminan itu semakin menguap, mestinya pemerintah berani lapang dada untuk mengakui kesalahan dan kegagalan layaknya ketika mereka membusungkan dada mengklaim keberhasilan.

Ketidaktegasan pemerintah menjadikan masyarakat mudah membangun opini. Lembeknya pemerintah menjadikan masyarakat semakin berpikir bahwa peristiwa bom bunuh diri terkati erat dengan pengalihan isu, terutama berkaitan dengan persoalan korupsi yang mendera para elite politik.

Ketidaktegasan pemerintah juga memudahkan masyarakat menafsirkan agama seenak perutnya sendiri. Mestinya agama menjadi inspirasi tegaknya rasa kemanusiaan dan persaudaraan. Nyatanya? Nyawa melayang demi sebuah idealisme yang tak jelas ujung dan pangkalnya. Ketika agama tidak lagi ditafsirkan menurut akar budaya Indonesia, muncullah kelompok-kelompok ekstrem. Mereka semakin kuat karena pemerintah yang tidak tegas. Mereka tidak takut kepada pemerintah. Terorisme semakin tumbuh subur. Dalam situasi ini, jangan salahkan masyarakat ketika muncul pandangan bahwa terorisme seolah dibiarkan [baca: dipelihara] untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Jangan salahkan masyarakat pula ketika muncul pandangan bahwa terorisme sengaja dimunculkan untuk menutupi borok para tokoh politik di negeri ini.

Ketika menulis ini, saya merindukan sebuah kata “Kami gagal menjamin kemerdekaan beragama di negeri ini!” keluar dari mulut para pemimpin di negeri ini. Mungkinkah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun