[caption id="attachment_89125" align="aligncenter" width="630" caption="bagian dalam gereja katolik st petrus dan paulus temanggung"][/caption]
Alkisah, di sebuah negeri antah baratah terjadi huru hara yang mengharu biru. Kalimat-kalimat suci berkumandang. Aneh. Kalimat suci itu terdengar beda dan terasa lain. Kalimat suci itu terasa takmenyejukkan. Kalimat suci itu membikin merinding bulu kuduk: bukan karena berkumandang di Gereja, tapi karena aura kebencian; bukan karena tersentuh, tapi karena ketakutan. Kalimat suci itu keluar dari orang-orang bermata merah. Tatapan mata mereka ganas. Seraya mendzikirkan kalimat suci, orang-orang itu menghancurkan apapun yang ada. Tangan-tangan kekar memegang balok-balok kayu atau besi. Benda-benda itu dihantamkan ke setiap sudut ruangan. Tak ada yang tersisa. Semua luluh lantak.
Sementara banyak orang lari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri, di ujung gang itu dua anak kecil terlihat asyik berbincang. Meskipun sekian banyak orang merasa ketakutan, tapi kedua anak ini anteng-anteng saja.
“Jo, knapa ya mereka itu merusak Gereja?” tanya Paino kepada temennya, Paijo.
“Wah, kalau itu... aku tidak tahu No. Berani kamu tanya sama mereka? Tuch.. tanya pada mas’e yang lagi bawa balok itu. Berani ga?” kata paijo sambil menunjuk seorang pemuda yang sedang beraksi dengan balok kayu di tangannya.
“Hehehe... kalau aku tanya kepada masnya itu, sama saja dengan bunuh diri Jo. Edan kamu ini. Tapi aku ga habis pikir lho, Jo. Emang Gerejanya itu salah apa coba? Bangunan itu dari dulu ya di situ itu tho? Kok orang-orang ini tiba-tiba datang dan main rusak aja. Kamu tahu po, mereka itu dari mana?” Keluh Paino sambil ngelus-elus kepalanya yang gundul.
“No... No.. ngapain kita mikirin soal kayak begitu. Mending kita nikmati saja. Lumayan tho No. Dapat tontonan gratis” seloroh Paijo.
“Orang dewasa itu memang membingungkan ya Jo. Mereka kan ngajarin kita untuk saling mengasihi. Apa merusak punya orang lain itu termasuk bagian dari mengasihi, ya? Bingung aku.”
“Wis.. ga usah dipikirin. Kita lihat aja yuukkk..” Paijo segera menggandeng Paino. Sambil sembunyi-sembunyi, mereka melihat aksi beringas yang tidak layak ditonton anak-anak.
Peristiwa yang terjadi di negeri antah barantah yang terkenal dengan toleransinya itu memang menyesakkan. Ketika mendengar ceritanya atau membaca beritanya tentu akan muncul perasaan marah, umpatan dan makian, atau bahkan keinginan untuk membalas. Tentu, sikap-sikap seperti ini bisa dimaklumi. Bagaimana mana tidak marah ketika melihat rumah ibadahnya dirusak orang lain yang berbeda keyakinan. Pertanyaannya, mengapa harus marah? Bersikap tenang menjadi pergulatan yang harus dilakukan. Tidak perlu bingung dan gelisah. Kalau bangunan fisik dirusak dan dihancurkan, nanti tinggal membangun lagi yang lebih besar dan megah. Gampang kok. Solidaritas berupa bantuan pasti akan segera mengalir.
Selain bersikap tenang, tindakan memaafkan adalah pilihan yang bijak. Anggap saja mereka-mereka itu sebenarnya tidak tahu dan tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Aku ingat dengan kisah Guru dan Sahabatku. Di mataku, Dia itu adalah sosok yang sangat cerdas, meskipun kadang pola pikirnya terasa aneh dan out of mind. Kecerdasan-Nya tampak jelas dalam berbagai diskusi dengan orang-orang yang membenci-Nya. Berhadapan dengan niat jahat orang-orang yang ingin menghabisinya, Guru dan Sahabatku itu selalu tampil kalem dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan sangat cerdas. Akibatnya, orang-orang itu sendiri yang kehabisan akal dan tidak bisa melancarkan aksi mereka.
Salah satu kisah yang sangat saya sukai adalah kisah perempuan yang berzinah. Kisah itu dibuka dengan kedatangan beberapa orang yang membawa seorang perempuan. Tidak tanggung-tanggung, perempuan itu tertangkap ketika sedang berzinah. Bagi mereka, hukuman bagi wanita yang kedapatan berzinah itu jelas: melempari perempuan itu.
Tentu, apa yang mereka lakukan itu tidak bisa disalahkan begitu saja. Mengapa? Karena mereka melakukan itu berdasarkan hukum yang berlaku: “perempuan yang kedapatan berzinah harus dilempari dengan batu”. Karena ada hukumnya, mereka tidak bisa dipersalahkan dan dijerat hukum. Dengan kata lain, jika mereka melempari perempuan itu maka tindakan itu sah.
Tanggapan yang disampaikan oleh Guru dan Sahabatku itu sungguh luar biasa dan membuat saya menggelengkan kepala tanda bingung dan tidak habis pikir. “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu!” Sudah bisa ditebak endingnya: tidak ada seorang pun yang melempari perempuan itu dengan batu. Satu per satu, orang-orang itu pergi meninggalkan perempuan itu.
Hukum adalah buatan manusia yang didasari oleh aneka kepentingan. Hukum hendak mengatur kehidupan bersama supaya menjadi semakin baik dan damai. Oleh karena itu, hukum mustinya tidak pernah memihak. Benar adalah benar. Salah adalah salah. Meski demikian, Guru dan Sahabatku itu mengajari untuk berpikir dalam kerangka yang lebih luas. Hukum bukanlah allah yang berdiri di atas segala-galanya. Apalagi, dengan dalih hukum lalu mencederai kehidupan bersama.
Semua orang akan setuju jika dikatakan bahwa zina itu tindakan dosa. Persoalannya adalah apakah karena tindakan dosa itu, orang yang kedapatan berzina harus di hukum? Jika ya, siapa yang berhak dan berwenang untuk memberikan hukuman? Apakah Allah harus dibawa-bawa sebagai pembenaran. Jangan-jangan Allah malah ngekek melihat tingkah laku orang-orang itu.
Trus apa yang bisa kita buat? Rasa saya, tidak perlu emosi. Tidak perlu menghujat. Tetap tenang, memaafkan, dan mari kita bersama-sama berdoa untuk mereka. Allah tidak perlu kita bela. Allah punya cara tersendiri untuk umat-Nya. Jadi tidak perlu kita repot-repot membela Allah karena kita hanyalah alat-Nya. Allah saja mengampuni, lha kok kita ciptaannya malah ga terima dan mengamuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H