Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Tokoh Lintas Agama Turun Gunung

17 Januari 2011   05:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:29 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_85266" align="aligncenter" width="648" caption="angka kemiskinan menurun?"][/caption]

Awal tahun 2011 ditandai dengan banyak peristiwa, baik itu peristiwa yang membahagiakan maupun peristiwa-peristiwa yang menguras air mata kesedihan. Ada berbagai prestasi yang telah ditorehkan negeri ini. Sayangnya, prestasi-prestasi itu seolah tenggelam ditelan aneka bencana yang melanda daerah-daerah. Dari berbagai peristiwa suka dan duka itu, ada sebuah peristiwa yang menarik perhatian. Para tokoh lintas agama melemparkan “bom” dengan membuat pernyataan yang mengejutkan dan spektakuler. Menurut pandangan para tokoh lintas agama tersebut, Pemerintah telah berbohong. Pernyataan para tokoh lintas agama itu telah membakar jenggot pemerintah yang segera membuat klarifikasi atas pernyataan itu.

“Mengapa para tokoh lintas agama itu bermain dalam ranah politik?” ungkap beberapa politisi mengomentari pernyataan para tokoh lintas agama. Benarkah para tokoh agama itu memasuki dunia politik melalui pernyataan itu? Kita bisa merenungkannya melalui kata bohong atau berbohong. Menurut wikipedia, kata bohong berarti pernyataan yang salah dibuat oleh seseorang dengan tujuan pendengar percaya [http://id.wikipedia.org/wiki/Bohong]. Pada sebuah kebohongan ada pula unsur kesengajaan. Para pendukung pemerintahan dapat membela diri dengan mengatakan bahwa ada data-data yang digunakan sebagai dasar. Jadi tidak mungkin terjadi pembohongan. Memang, jika sebuah pernyataan atau kesimpulan yang diambil berdasarkan data maka itu tidak bisa disebut kebohongan melainkan kesalahan. Jika itu dilakukan dengan sengaja sebagai sebuah siasat, itu pun bukan sebuah kebohongan, melainkan taktik disinformasi.

Tapi mengapa para tokoh lintas agama mengatakan pemerintah bohong? Saya pikir para tokoh lintas agama adalah orang-orang yang cerdas. Menurut kaca mata saya, para tokoh lintas agama merujuk pada kata bohong karena kesalahan yang dibuat itu untuk meyakinkan pendengar supaya menjadi yakin dan percaya. Pada sisi ini, ada unsur kesengajaan yang dibuat. Kesengajaan itu bisa beraneka ragam bentuknya. Jika sebuah pernyataan diambil atas dasar data, maka kesalahan bukan pada pernyataannya itu, melainkan pada data-data yang digunakan. Misalnya pada kisruh RUUK DIY. Menteri Dalam Negeri mengatakan bahwa rakyat Jogja mendukung pemilihan dengan dasar data yang menyebutkan bahwa 70% masyarakat Jogja setuju pemilihan. Rakyat Jogja marah dan membuat data tandingan. Ternyata hasilnya berkebalikan. Nah, siapa yang bohong?

[caption id="attachment_85267" align="aligncenter" width="630" caption="menjadi kreatif di tengah keterpurukan"]

12952416711864506594
12952416711864506594
[/caption]

Ada banyak alasan mengapa orang melakukan tindak kebohongan. Pertama, berbohong karena adanya tekanan yang bertubi-tubi. Tekanan dari luar ini bisa menjadikan seseorang stress. Semakin memuncak tingkat stress yang dialami, semakin ia berusaha keluar cari tekanan itu. Salah satu caranya adalah dengan berbohong. Karena takkuat lagi menahan serbuan dan gempuran dari kanan dan kirinya, orang itu berbohong untuk menyelamatkan diri. Tentu pertahanan diri dengan berbohong ini sangat rapuh dan beresiko. Ketika seseorang didakwa mencuri, maka ia akan membuat alibi untuk meyakinkan orang-orang yang menuduhnya bahwa ia tidak mencuri.

Kedua, berbohong bisa dilakukan untuk maksud tertentu, misalnya menjaga image atau citra diri. supaya dianggap orang sukses dan berhasil maka berbagai cara ditempuh untuk menunjukkan dan menegaskan keberhasilannya itu. Salah satunya dengan berbohong. Angka-angka dan statistik dirancang sedemikian rupa untuk menunjukkan perkembangan dan kenaikan program yang telah dilakukan. Dari angka-angka dan data-data yang sudah dimainkan inilah kemudian ditarik sebuah kesimpulan bahwa program yang disusun telah berhasil.

[caption id="attachment_85270" align="aligncenter" width="600" caption="memeras keringat demi hidup yang semakin susah"]

12952432431099922314
12952432431099922314
[/caption]

Ketiga, yang paling mengerikan adalah ketika kebohongan itu dilandasi oleh berbagai motivasi atau alasan sekaligus: ada motivasi menghindar dari tekanan, untuk menjaga image, atau bahkan untuk menaikkan kepercayaan diri. Mengapa mengerikan? Sebab jika usaha ini berhasil, maka tindakan berbohong akan dilakukan terus menerus dan menjadi sistematik. Lama kelamaan akan menjadi perilaku. Mengapa? Ketika tindakan pertama berhasil maka akan diikuti dengan tindakan berikutnya. Ketika berbohong semakin sembuat nyaman, semakin dibuatlah tindakan itu.

Dalam pandangan saya, apa yang diserukan itu merupakan pertanda bahwa para tokoh lintas agama sedang turun gunung. Tokoh agama jelas memiliki peran dan fungsi dalam bidang agama. Setidaknya ada 2 hal yang menjadi fokus perhatian, yaitu berkaitan dengan ajaran agama dan moralitas. Tokoh agama merupakan benteng penjaga ajaran agama dan moralitas. Ketika masalah kebohongan telah menjadi demikian sistematik, maka hal ini merupakan masalah moralitas. Karena menyangkut masalah moralitas, maka sudah selayaknya para tokoh agama turun gunung dan menyuarakan kebenaran. Apa yang telah dilakukan oleh para tokoh agama adalah sebuah tindak kenabian untuk memperingatkan pemerintah. Jadi apa yang dilakukan oleh para tokoh lintas agama tidak bermaksud untuk mencampuri ranah politik. Sama sekali tidak. Memang kebohongan yang disebut itu terjadi dalam ranah politik, namun yang hendak dibongkar bukan politiknya. Para tokoh lintas agama hendak membongkar moralitas bangsa ini yang dianggap telah bobrok: terutama praktek kebohongan yang disinyalir telah mengakar kuat.

Atas tindak kenabian para tokoh agama ini, hendaknya pemerintah pun tidak segera reaktif dengan membuat pernyataan yang justru akan menimbulkan persoalan lebih besar lagi. Saya yakin pernyataan yang dibuat oleh para tokoh lintas agama itu bersifat positif dan membangun. Pernyataan itu tidak bermaksud menjelek-jelekkan pemrintah, apalagi untuk menjatuhkan pemerintah. Pemerintah dapat menjadikan pernyataan para tokoh lintas agama itu sebagai cermin untuk mengevaluasi kinerja berdasarkan bukti-bukti nyata di lapangan. Jika pemerintah justru terjebak dan mereaksi secara salah, peristiwa tahun 1997 dapat menjadi pengingat. Ketika rakyat sudah jengah dengan pemerintah, rakyat bisa berbuat apa pun, termasuk yang sangat tidak terduga.

[caption id="attachment_85268" align="aligncenter" width="630" caption="aku ingin sekolah......"]

12952415432089712935
12952415432089712935
[/caption]

Hanya dengan berhenti membangun image, maka kebohongan itu tidak akan berkembang menjadi sebuah habitus dan perilaku akut.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun