Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Wisata Spiritual di Pakuning Tanah Jawa [Part One]

4 Agustus 2010   17:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:18 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_216019" align="aligncenter" width="500" caption="Petilasan Syekh Subakir"][/caption]

Dengan kuda besi butut aku putar-putar kota Magelang. Entah mengapa kok rasanya pingin dolan ke Gunung (lebih tepat bukit) Tidar. Lalu kuarahkan teman setiaku itu melewati terminal lama. Naik sedikit dan sampailah di parkiran. Tulisan Selamat Datang menyapa kedatanganku. Sampailah aku di gunung Tidar. Gunung Tidar? Kenyataannya akan sangat berbeda dengan apa yang ada di benak kita. Bentuknya sendiri lebih mirip disebut bukit. Gunung ini merupakan ikon kota Magelang. Tingginya hanya sekitar 600 mdpl dan berada di tengah kota. Gunung Tidar ini juga terkenal sebagai tempat untuk mengolah lalu spiritual. Menurut legenda, Gunung Tidar diyakini sebagai pakuning tanah Jawa. Dengan kata lain. Gunung Tidar merupakan pusatnya tanah Jawa.

[caption id="attachment_216020" align="alignleft" width="240" caption="Pencari berkah"][/caption]

Setelah ku parkir kuda besi bututku, aku segera masuk melewati gerbang kecil. Sambutan hangat segera aku terima. Sambutan yang pertama dari nenek moyang yang bergantungan di pohon. Meloncat ke sana kemari seolah menyambut kedatanganku. Di kompleks ini memang masih banyak dijumpai monyet. Keberadaan monyet-monyet liar ini bisa menjadi daya tarik tersendiri. Sambutan yang kedua berasal dari serombongan ibu-ibu dengan anak-anak kecil di gendongan. Ada juga bapak-bapak yang terus saja mulutnya komat-kamit. Bukan membaca mantera, tapi menggemakan permohonan. Sudah tahu kan siapamereka-mereka ini? Kelompok seperti ini selalu saja ada di tempat keramaian. Mereka adalah orang-orang yang menanti belas kasih dan uluran tangan dari para pengunjung. Keberadaan para pencari berkah ini memang terasa dilematis. Di satu sisi, mereka datang untuk mencari berkah untuk hidup mereka. Namun di sisi lain, kehadiran mereka kadang cukup mengganggu kenyamanan. Apalagi jika cara mereka meminta demikian memaksa pengunjung.

[caption id="attachment_216023" align="alignright" width="200" caption="jalan setapak di antara rimbunan pohon"][/caption]

Selewat gerbang masuk, jalan tanah dan jalan berundak telah menanti untuk dilewati. Kanan kiri jalan berdiri kokoh aneka pohon. Jenis pohon yang terbanyak adalah pohon pinus. Kesejukan langsung terasa begitu kita memasuki gerbang. Situasi ini berbanding terbalik dengan keadaan di luar gerbang yang cenderung panas. Maklum, di luar gerbang merupakan perkampungan padat penduduk. Jalan mendaki bikin nafas ngos-ngosan. Tapi menyenangkan karena segarnya udara di area gunung Tidar ini. Meski berada di tengah kota, namun udara di sekitar gunung ini terasa segar. Setelah melewati beberapa kelokan, sampailah di persinggahan pertama. Tempat persinggahan yang pertama kali kita jumpai petilasan Syekh Subakir. Syekh Subakir merupakan ulama dari Timur Tengah yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Dikisahkan pula beliau adalah orang yang menaklukkan Jin dan Makhluk Halus di Gunung Tidar sehingga mereka ‘mengungsi’ ke Pantai Selatan. Setelah berhasil menaklukkan Jin dan Makhluk Halus, Syekh Subakir kembali ke tanah asalnya di Rom (Baghdad). Petilasan Syekh Subakir sebelumnya ditandai dengan adanya kijing yang terbuat dari kayu. Setelah dipugar, kijing tersebut diletakkan di pendopo dan diganti dengan batu fosil yang berasal dari Tulung Agung serta dikelilingi pagar tembok yang berbentuk lingkaran dan tanpa atap.

Ketika saya menginjakkan kaki di persinggahan pertama ini, ada sekelompok bapak-bapak yang sedang melantunkan dzikir. Lantunan dzikir itu membuat saya berhenti dan ikut duduk diam. Meski tak tahu apa makna dan artinya, namun aura doa yang terpancar mengundang saya untuk ikut berdoa. Melantunkan pujian kepada Sang Khalik. Ada nuansa keteduhan dan kedamaian yang tercipta dari aura doa yang sering dilantunkan di tempat ini. Mistis namun tidak angker. Kesejukannya mengundang orang untuk berlama-lama di tempat ini. Jangan kuwatir, disediakan fasilitas cukup memadai di persinggahan ini. Di tempat ini tersedia kamar kecil, mushola kecil, dan pendopo yang bisa digunakan untuk beristirahat sambil menikmati keindahan tempat ini. Untuk kebutuhan perut, sebaiknya membawa sendiri.

[caption id="attachment_216026" align="aligncenter" width="500" caption="Dzikir dilantunkan, doa dihaturkan"][/caption]

Niat hati ingin melanjutkan perjalan ke kompleks utama. Namun sayang, ada pengumuman tidak boleh ke tempat itu karena sedang ada latihan perang. Maklum saja. Gunung Tidar berada satu kompleks dengan Akmil. Dari pada kena peluru nyasar, aku memilih turun. Lain kesempatan aku bisa datang lagi dan memberikan reportasenya. Tunggu edisi kedua dari edisi Gunung Tidar ini. Sembari menelusuri jalan berundak, aku bertemu dengan satu rombongan yang juga ingin mengadakan olah rohani di tempat itu. Rupanya, tidak hanya pada siang hari saja para pengunjung mendakan laku spiritual di tempat ini. Menurut penuturan warga, ada juga yang mengadakan laku spiritual pada malam hari.

[caption id="attachment_216030" align="alignleft" width="300" caption="mbok Painem, perempuan perkasa"][/caption]

Kegagalanku untuk sampai ke kompleks utama terobati ketika aku berjumpa dengan Mbok Painem. Simbok-simbok berusia sekitar sekitar 75an tahun. Simbok-simbok yang demikian perkasa. Sembari menggendong 6 buah coorblock, Mbok Painem berjalan mendaki jalan berundak. Aku saja yang tanpa membawa beban sudah ngos-ngosan mendaki jalan naik itu, tapi Mbok Painem dengan semangat dan penuh senyum melakukannya dengan gembira. Coorblock di gendongan dan tangan kanan tongkat untuk membantunya berjalan.

“Gimana lagi, Nak. Untuk bisa makan ya harus mau bekerja keras begini,” ujarlah lirih sambil menghela nafas dalam. Meski umur taklagi muda, tapi hidup terus diperjuangkan. Perjuangan yang demikian keras. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali Mbok Painem naik dan turun bukit Tidar sambil membawa coor block yang akan digunakan untuk merehap kompleks utama. Dalam kerut ketuaannya, tampak sebuah pengharapan dan perjuangan hidup. Masa tua mestinya menjadi masa memanen jerih payahnya selama masa muda, tapi Mbok Painem menghabiskan masa tuanya untuk terus bertahan hidup. Luar biasa.

“Terima kasih, Mbok. Telah kauajarkan kepadaku bagaimana memperjuangkan danmeneruskan kehidupan,” batinku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun