Mohon tunggu...
Yeni Sahnaz
Yeni Sahnaz Mohon Tunggu... Penulis - Junior

Seorang lansia yang senang bertualang di belantara kata-kata dan tidak suka pakai kacamata kuda dalam menyelami makna kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lidah Mertua

13 Januari 2024   05:54 Diperbarui: 13 Januari 2024   10:38 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa tanaman cantik kaya manfaat Sansevieria dijuluki 'Lidah Mertua?' Aku sering tersenyum saat menyiraminya sambil  ta elus-elus daunnya yang panjang bermotif indah dan berujung tajam. Mungkin tampilan fisik itulah yang dianggap cocok menggambarkan seberapa tajamnya lidah (tak semua) mertua perempuan dalam kehidupan nyata.

Aku sempat heran saat beberapa teman  curhat tentang perselisihannya dengan mertua. Yang menjadi persoalan diantaranya sikap mertua yang dituding merongrong finansial keluarganya atau terlalu ikut campur dalam rumahtangga sang anak. Bahkan seorang tetangga dicerai suaminya karena konon tak bisa akur dengan mertuanya.

Mengingat aku pun seorang Ibu yang suatu hari akan menjadi mertua dari pasangan hidup anak-anakku, tentu saja  mesti mawas diri agar tidak menjadi duri dalam kehidupan rumah tangga mereka. Ada dua perempuan yang menjadi teladan dalam hidupku yakni Ibuku dan Ibu suami. Keduanya sama-sama menjalani kehidupan sebagai mertua dengan penuh kebijaksanaan.

Ketika pertama kali dikenalkan kepada ibundanya oleh calon suami, cepat terjadi kemistri diantara kami. Aku yang tidak pandai berbasa-basi manampilkan diri apa adanya di hadapan Beliau. Sejak itu aku merasakan kasih sayang Beliau dicurahkan tanpa pernah surut hingga akhir khayatnya. Beliau seorang Ibu mertua yang tak pernah menggerecoki rumahtangga anak-mantunya dan begitu menikmati perannya sebagai seorang nenek. Tanpa memiliki ambisi pribadi, Beliau mencurahkan kasih sayangnya demi kebahagiaan kami.

Masih lekat dalam ingatan, betapa Ibu mertua menghujaniku dengan berbagai hadiah, diajaknya aku bersilaturahmi pada kolega serta keluarga besarnya selagi  belum menjadi menantunya hingga akhirnya menikah dengan putra bungsunya. Beliau mertua yang asik diajak berbincang karena pengetahuannya begitu luas mulai dari sains, politik, seni dll. Suatu hari Ibu mertua bercerita baru saja menonton film ‘The Bodyguard’ bersama gengnya. Tentu saja aku antusias mendengarkan cerita tentang akting Kevin Costner dan Whitney Houston karena aku adalah fans dari keduanya. Aku pernah mengeluhkan kondisi kesehatan putraku yang saat balita sering sakit. Meski aku berusaha mengobatinya ke beberapa spesialis namun tidak ada perubahan. Salah satu dokter spesialis menganjurkan anakku untuk dioperasi amandelnya karena sering radang. Ibu mertuaku tidak setuju, menurutnya, jika amandel pada cucunya diambil, justru pertahanan tubuhnya akan semakin menurun. Aku heran mengapa Ibu mertua menganjurkan penanganan berbeda dengan dokter? Ternyata Beliau mencari jawabannya dari berbagai referensi kedokteran. Aku pun mengikuti anjuran Beliau yang ternyata terbukti.

Kuatnya ikatan emosional diantara kami membuat rasa sayangku kepada Ibu mertua justru tak berjarak seperti orangtua sendiri. Meski Ibu mertua berkarir hingga usia senja dan hidup berkecukupan namun bukan berarti kami anaknya lepas tangan begitu saja. Kuutarakan kepada suami, " Jika Mas ingin bertemu Ibu, memberi uang atau apa saja, silakan...tidak usah minta ijin kepadaku. "  Mungkin uang atau benda yang suami berikan tidak seberapa nilainya  namun bagi Ibundanya  sangat bermakna  sebagai wujud perhatian dari ananda tersayang.

Sikapku demikian karena dari lubuk hati paling dalam  menyadari bahwa  perjuangan dan pengorbanan seorang Ibu yang tak dapat dinilai secara nominal begitu luhur dalam kehidupan sang buah hati sejak Ia dalam kandungan hingga dewasa. Dan ketika aku menikah dengan suami, Ia telah berwujud sebagai pria dewasa yang sudah mandiri. Siapakah yang telah bersusah payah mengasuh dan mendidik suamiku? Tentu saja sang Ibunda dan aku istilahnya tinggal memetik hasil yang Beliau tanam.

Berikutnya aku meneladani Ibu kandungku sendiri yang juga berperan sangat bijaksana saat menjadi seorang mertua, Beliau dengan tulus mengasihi sang menantu bak anak kandungnya sendiri. Tidak pernah berfikir negatif tentang menantunya, bahkan bila sang menantu memberi bingkisan Beliau selalu berujar, " Sudah jangan repot-repot Nak...Ibu sudah cukup...pikirkan saja kepentingan kalian.."

Ibu pun tak pernah merecoki rumahtangga anak-mantunya. Bahkan ketika mereka terlibat konflik serius, Ibu diam saja bila tidak dimintai nasihat. Hal tersebut sempat membuatku bertanya-tanya , mengapa Beliau tidak reaktif menyikapi masalah rumah tangga sang anak-mantu? Jawaban Beliau adalah, " Biarkanlah mereka tumbuh dewasa bersama konflik yang dihadapi... nanti juga rukun kembali. Mereka pada dasarnya saling mencintai karena batinnya terikat kuat oleh tali kasih yang tak bisa kita lihat secara kasat mata. Bila Ibu ikut campur, bisa jadi masalah mereka makin melebar dan bukan solusi yang didapat karena Ibu orang luar yang tidak begitu paham urusan dalam rumahtangga mereka. " #

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun