Mohon tunggu...
Yeni Sahnaz
Yeni Sahnaz Mohon Tunggu... Penulis - Junior

Seorang lansia yang senang bertualang di belantara kata-kata dan tidak suka pakai kacamata kuda dalam menyelami makna kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Gender dalam Pemiskinan Perempuan

2 Juli 2023   21:43 Diperbarui: 2 Juli 2023   22:07 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemberitaan tentang tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang mengalami penyiksaan oleh majikannya di luar negeri sangat menyayat hati; Ada yang mengalami penyiksaan fisik, psikis serta tidak jarang yang mengalami keduanya. Akibat yang ditimbulkan pun bermacam-macam diantaranya banyak TKW yang pulang mengalami gangguan jiwa, mengalami cacat fisik yang berat dan ada pula yang pulang berbalut kafan.

Cara penyiksaan para majikan beraneka ragam mulai dari tidak memberi makanan dan waktu istirahat yang cukup, memperkosa, tidak memberikan gaji serta menyiksa tubuh TKW dengan berbagai cara. Perlakuan buruk lainnya kerap mereka alami sejak awal keberangkatan dari Indonesia seperti manipulasi identitas dan pemerasan oleh para calo; Begitu juga pada saat kepulangan mereka ke Tanah Air, tak jarang mereka dirampok dan dianiaya.

Banyak lagi kisah kaum perempuan yang diperdagangkan menjadi pekerja jasa pelayanan seks dan pekerja paksa yang tidak digaji, padahal awalnya diiming-imingi pekerjaan halal sebagai buruh migran dengan janji yang sangat menggiurkan.

Meskipun sudah banyak korban berjatuhan namun tidak pernah menyurutkan keinginan kaum perempuan Indonesia untuk mengadu nasib menjadi buruh migran di negeri orang. Penyebabnya adalah lilitan kemiskinan yang tiada pernah berakhir membuat mereka gelap mata bertekad ingin memperbaiki nasib hingga tidak peduli dengan resiko yang akan didapat. Kebanyakan dari mereka termotivasi untuk memperbaiki nasib keluarga. Bagi yang sudah berkeluarga mereka kerap meninggalkan anak dan suaminya dan yang masih sendiri sering menjadi tumpuan harapan orangtuanya.

Diskriminasi

Mengapa kemiskinan sering melilit kaum perempuan? Hal ini terkait dengan budaya patriarki yang masih dipegang erat oleh sebagian masyarakat Indonesia. Budaya ini sangat bias gender karena cenderung memposisikan kaum laki-laki sebagai pihak superior dan kaum perempuan sebagai pihak inferior padahal tidak ada seorang insanpun yang dapat memilih jenis kelaminnya saat dilahirkan . Yang Maha Kuasa menciptakan manusia untuk menjadi musafir di belantara kehidupan ini tentu dengan pesan moral agar para insan ciptaanNya dapat berperan saling melengkapi penuh harmoni tanpa saling mendominasi satu sama lain.

Istilah gender sendiri dapat diartikan sebagai perbedaan jenis kelamin yang tidak berdasarkan kodrati atau biologis, melainkan dari hasil konstruksi sosial dan budaya masyarakat. Perbedaan gender ini sebetulnya tidak jadi masalah bila dalam realita sosial tidak menimbulkan rasa ketidak adilan dari salah satu pihak baik perempuan atau laki-laki namun dari sinilah awal diskriminasi terhadap kaum perempuan sehingga terjadilah pemiskinan secara sistematis.

Di mana bibit diskriminasi berawal disemai? Ternyata di lingkungan keluargalah tempatnya. Orang tua seringkali membebankan tugas -tugas domestik seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci dan tugas lain yang sangat menyita waktu dan tenaga kepada anak perempuannya. Sementara anak laki-laki biasanya dibebaskan dari semua tugas tersebut yang seharusnya menjadi tanggungjawab bersama seluruh anggota keluarga. Dari sini terciptalah pencitraan bahwa tugas kaum perempuan sepanjang hidupnya hanya untuk mengerjakan urusan domestik hingga tidak layak untuk tampil di ruang publik.

Masih banyak orangtua yang berpandangan bahwa bersekolah tinggi bagi anak perempuan tidak penting karena hanya pemborosan, toh nanti ilmu itu tidak terpakai karena perempuan akhirnya akan menjadi penghuni dapur saja karena sepanjang hidupnya akan dinafkahi oleh suaminya. Tak heran bila banyak anak perempuan yang disekolahkan alakadarnya sementara anak lelaki akan diprioritaskan mati-matian. Pandangan ini sangat bias gender karena menafikan bahwa semua anak memiliki hak untuk mengenyam pendidikan tinggi serta mengembangkan potensi masing-masing tanpa pengecualian dari jenis kelaminnya ( egaliter ).

Minimnya jenjang pendidikan yang diberikan kepada kaum perempuan menyebabkan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi kehidupan karena tidak memiliki nilai tawar dalam mencari nafkah sehingga mereka dapat dengan mudah diperdaya untuk dijadikan korban perdagangan manusia (trafficking). Trafficking adalah kejahatan yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan; Memperlakukan manusia sama seperti komoditas barang yang dapat diperjualbelikan. 

Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia, korban perdagangan manusia terbesar di dunia berasal dari Indonesia dan berjenis kelamin perempuan (data periode Maret 2005 sampai Januari 2008 mencapai 2699 orang). Data ini seperti fenomena gunung es yang hanya memperlihatkan kasus yang terungkap, sementara yang tidak terungkap karena terorganisir dengan baik namun terselubung sebenarnya jauh lebih besar (Kompas, Jumat 18 April 2008).

Jika di Bangladesh ada Muhammad Yunus yang hatinya tergerak untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan dengan memberdayakan dan memberikan pinjaman modal tanpa agunan melalui Gramment Bank, sebaiknya kita meniru sikap tersebut sehingga kaum perempuan Indonesia memiliki bekal yang cukup untuk menapaki kehidupan.
( YS , Bogor 08072009 )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun