Ubud Writers Readers Festival adalah hajatan akbar sastra Internasional dilangsungkan di Ubud-Bali sejak tahun 2004. Festival ini digagas oleh Janet DeNeefe seorang pengusaha kuliner yang sudah bermukim lebih dari 20 tahun di Bali. Tujuan dari penyelenggaraan festival ini selain untuk memperkenalkan karya sastra Indonesia di pentas dunia juga sebagai media dialog budaya lintas negara. Program yang digelar dalam UWRF sangat beragam terdiri dari debat, diskusi, pemutaran film, peluncuran buku, workshop dan pagelaran karya sastra .
Tahun ini festival diadakan pada tanggal 05 hingga 09 Oktober 2011, diikuti oleh lebih dari seratus orang penulis ternama dari 20 negara. Ada pun tema yang diusung adalah ‘ Nandurin Karang Awak’ yang bermakna mengedepankan dimensi kesederhanaan hidup, kekayaan bathin serta kemerdekaan jiwa dalam berkarya dan berdialog. Hal ini terinspirasi dari salah satu karya sastrawan Bali, Ida Pedanda Made Sidemen.
Satrio Wibowo putraku yang biasa dipanggil Bowo beruntung diberikan kesempatan dalam UWRF 2011 untuk mengisi Children & Youth Program pada tanggal 06 Oktober 2011 di Workshop: From a Fantasy to a Publisher Pondok Pekak Ubud pada jam 10:00 – 12:00 dan In School Workshop di Indonesia Australia Language Foundation (IALF) Denpasar pada jam 15:00 -17:00 bersama penulis senior Meredith Costain asal Australia.
Aku dan Bowo tiba di Ubud pada Selasa 04 Oktober jam 15:00 lalu mengisi perut di Anhera Café, setelahnya langsung menuju kantor UWRF di jalan Sanggingan. Saat itu para volunteers tua dan muda sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru dunia dan tanah air. Setelah mendapat berbagai informasi dari staf UWRF, kami bergegas meluncur ke penginapan Sania’s House Bungalows di jalan Monkey Forest, tempat kami menginap.
Rabu 05 Oktober diisi Bowo dengan tidur seharian, entah mengapa enerjinya seolah terkuras habis. Dengan susah payah ia kubangunkan untuk makan dan setelahnya ia kembali tidur hingga keesokan harinya.
Kamis pagi 6 Oktober kami menuju Pondok Pekak Library, tepat jam 10.00 Bowo tampil memandu workshop dengan gaya riang dan jenaka dalam bahasa Indonesia, namun audiens inti yang terdiri dari pelajar SMP dan SMA nampak dingin saja tidak merespon uraian Bowo yang dilengkapi Powerpoint. Hanya sesekali para guru yang mendampingi mereka mengajukan pertanyaan. Meski begitu Bowo tetap penuh semangat menguraikan pengalamannya sebagai penulis mulai dari mengembangkan imajinasi, menuliskannya hingga mengirimkan naskah ke penerbit. Berbagai tip diberikan Bowo kepada audiens yang selain terdiri dari siswa SMP, SMA juga hadir volunteer asing dan lokal, reporter serta para guru pendamping. Tak lupa para audiens diberi tugas untuk menggambar disertai deskripsinya kemudian diamati Bowo satu persatu.
“ Ya, kerenn…! Wah kamu berbakat jadi penulis..! Ayo terus berlatih…! Nah bagus nih, jadi kalau ngegambar medianya dipenuhin semua seperti ini…! Oke sebaiknya menulis tuh disisipi pesan moral seperti ini..!” Bowo mengomentari karya audiens dengan nada positif untuk memotivasi.
Sambil mengabadikan aktivitas Bowo, beberapa sms kuterima yaitu dari reporter TV swasta di Jakarta yang mengabari bahwa Bowo akan diliput saat tampil di IALF Denpasar, berikutnya seorang editor penerbit lokal ternama ingin berbincang dengan Bowo dan terakhir dari Jenn Price yang mengabari akan mengirim driver untuk menjemput Bowo.
Bowo menyudahi Workshop di Pondok Pekak dengan nge-rap diiringi tepuk tangannya sendiri disertai tatapan aneh para audiens.
Jam 13.30 kami bersama Meredith Costain berangkat menuju IALF Denpasar di jalan Sesetan 190. Sepanjang perjalanan MC mengobrol dengan hangat bersama Bowo, mereka berbincang mulai tentang dunia literasi, musik hingga koleksi hewan peliharaan masing-masing. Minat yang sama ternyata telah mengakrabkan keduanya hanya dalam hitungan menit. Aku diam-diam saja sekedar menguping pembicaraan mereka. Tiba-tiba MC bertanya padaku.
“ Hei Jeni! Kenapa diam saja? “
“ Aku malas bicara karena bahasa Inggrisku buruk, “ jawabku berterus terang.
“ Yeah…kenapa kamu tidak belajar ke Bowo, bahasa Inggris dia bagus sekali! ” MC menjawab sambil mengalihkan pandangannya ke Bowo.
Setelah dua jam perjalanan menembus kemacetan lalulintas yang sulit dihindari, kami tiba terlambat di IALF. Caroline Bentley sebagai manajer menyambut MC dan Bowo dengan ramah sambil memandu memasuki ruang pertemuan yang dipenuhi audiens terdiri dari para professional yang telah lama menunggu. Sementara itu reporter TV merekam langkah Bowo sejak kedatangannya.
MC mengawali workshop dengan menjelaskan tahapan-tahapan penulisan buku bergambar untuk anak melalui Powerpoint, dilanjutkan dengan pemberian tugas kelompok pada para audiens. Ia tampil memukau dengan menyelipkan humor-humor segar dalam uraiannya.
Berikutnya Bowo tampil dengan atraktif dalam bahasa Inggris, sambil menjelaskan melalui Powerpoint proses kreatif penulisan buku, ia pun meluapkan emosinya dengan spontan bergaya teatrikal: bersorak riang, melompat, berputar sambil diselingi British Accent dan lainnya hingga mengundang gelak tawa.
Aku memandang ulah Bowo nyaris tak berkedip, rasa haru menyelusup seolah melunasi kecemasanku selama ini. Ada kebiasaan Bowo yang sulit kupahami hingga membuat aku dan Bowo sering berselisih paham. Sejak ia beberapa kali diundang menjadi pembicara, ia tak pernah mengikuti saranku untuk mempersiapkan diri jauh-jauh hari seperti mencari referensi, menuliskan materi yang akan dibahas serta berlatih bicara. Bowo selalu menjawab “ Tenang saja....!” Hingga mendekati deadline ia baru bertanya, “ Memang temanya tentang apa? ” Buru-buru ia membuat Powerpoint tak sampai setengah jam lalu diserahkannya padaku sambil ia berlalu pergi tanpa mau mendiskusikannya lebih lanjut. Hal ini seringkali membuatku senewen……
Karena keterbatasan waktu mengingat MC masih ada acara lain yang harus dihadirinya di Ubud, Bowo hanya bisa menjawab beberapa pertanyaan audiens lalu diakhiri dengan foto bersama dengan tergesa-gesa. Suasana ini nampak heboh karena sebagian audiens menyerbu Bowo untuk meminta nomor kontak serta menanyakan dimana novelnya bisa didapat? Mereka nampak kecewa saat tahu novel Willy Flarkies diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Bowo lalu menghibur mereka dengan mengatakan:
“ Doain ya moga tahun 2012 terbit versi Inggrisnya…karena aku juga lagi nulis lagi sequelnya…”
“ Oke Bowo ….kami doakan dan siap menungguuuuu…! “ serempak mereka menjawab sambil satu persatu menjabat tangan Bowo.
Saat melangkah ke luar ruang, CB memeluk bahuku lalu menjabat erat tanganku sambil berucap, “ Selamat ya….ibu patut bersyukur dikaruniai anak gifted seperti Bowo…! ”
Seorang warga asing lainnya mensejajari langkahku, menjabat erat tanganku lalu bertanya dalam British Accent, “ Memangnya kalian pernah tinggal di Inggris ya….putramu kok bisa aksen Inggris?” Aku tersenyum dan menggeleng sambil menjelaskan bahwa Bowo tak pernah tinggal di luar negeri dan belajar bahasa Inggris pun secara otodidak. Beliau lalu membelalakan matanya seolah tak percaya.
Jumat 07 Oktober Bowo kembali tertidur lelap seharian, siang itu setelah kubangunkan untuk makan, ia sempat menanyakan di mana tempat untuk melaksanakan shalat Jumat? Tak lama ia tertidur lelap kembali.
Sabtu pagi 08 Oktober kami bergegas ke Museum Neka yang letaknya tak jauh dari kantor UWRF. Hari itu Bowo akan menemui Noor Huda Ismail mantan reporter The Washington Post yang akan membahas bukunya berjudul ‘ Temanku Teroris ‘ bersama Sidney Jones. NH pada tahun 2010 telah memberi info tentang perhelatan UWRF dan menganjurkan Bowo untuk turut serta. Pagi itu kami menemui NH yang tengah berbincang dengan SJ. Bowo dikenalkan NH pada beberapa koleganya dan sempat berbincang lalu tak lama keduanya menuju auditorium untuk mengisi acara.
Kami beralih menuju meja lainnya dimana seorang editor sebuah penerbitan ternama tengah menanti Bowo. Dalam perbincangan keduanya bergulir penuh harapan dan impian yang ingin diwujudkan dalam bentuk kerjasama di tahun mendatang. Dalam hati aku berdoa agar mimpikeduanya yang amat indah tersebut dapat diwujudkan. Setelah makan siang kami segera menuju Left Bank, aku ingin mengikuti sesi acara Agustinus Wibowo sang backpacker penulis buku ‘ Selimut Debu. ‘ Blog Agustinus yang berisi kisah petualangannya di negeri Asia Tengah berulangkali kubaca tanpa pernah merasa bosan. Bowo dengan tulus meminjamkan free cardnya padaku dan ia melangkah ke belakang gedung untuk menungguku hingga acara usai.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, dengan berjalan kaki sambil diiringi gerimis, aku dan Bowo menuju Museum Antonio Blanco yang megah. Di sana aku berharap Bowo mendapatkan pelajaran berharga untuk menopang karirnya sebagai seniman.
Minggu siang 09 Oktober kami memacu langkah lagi menuju Indus Café untuk mengikuti sesi acara Andrea Hirata. Kali ini aku membeli 1 day freecard hingga bisa hadir bersama Bowo yang begitu antusias menyimak setiap uraian AH. Tak lupa Bowo menanyakan trik AH agar tetap semangat berkarya. Di akhir acara, Bowo membeli buku AH dan meminta ditandatanganinya lalu ia siap berpose bersama AH untuk kuabadikan.
Sebelum pulang ke penginapan, atas referensi dari Bp Ibrahim Basalmah (pelukis senior Bogor), kami menemui seorang maestro serba bisa bernama Adenan Taufik (77 th) asal Bogor yang tengah bermukim di desa Penestanan Kelod-Ubud. Perjumpaan yang sangat mengesankan mengingat di usia senjanya beliau masih memegang teguh idealisme sebagai warga Negara yang ingin melestarikan budaya bangsa melalui karya lukisnya. Tahun mendatang beliau berencana untuk bermukim di Baduy demi mengabadikan budayanya.