Mohon tunggu...
Yulia Rahmawati
Yulia Rahmawati Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, Editor, Blogger, Peneliti

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Waduk Jatigede: Membangun atau Menghancurkan Peradaban?

31 Agustus 2015   15:31 Diperbarui: 31 Agustus 2015   18:31 8502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

70 tahun kemerdekaan Indonesia menjadi momen terakhir warga Cipaku merayakan kemerdekaan di tanah air, tanah tumpah darah, tanah warisan, tanah leluhur, titilas pendiri Tembong Agung dan Sumedang. Hari ini, 31 Agustus 2015, Presiden Jokowi meresmikan penenggelaman Jatigede. Tempat yang menyimpan situs leluhur Sunda, karuhun para raja Sumedang Larang.

Penggenangan hari ini sungguh membuat saya sedih, karena saya pernah berkunjung dan merasakan kesejukan alam Jatigede. Hutan telah gundul, bukit-bukit telah gersang, mata air sudah tidak mengalir. Ada 1368 Ha hutan dan 2050 Ha pesawahan yang akan ditenggelamkan oleh bendungan. Ironis, mengairi sawah dengan menenggelamkan sawah dan hutan. Menerangi dengan mengubur kayu-kayu. Apa yang sebenarnya ingin dibangun?

Perjalanan panjang perjuangan warga Jatigede hanya segelintir media yang sanggup mengabarkan, sampai pada titik batas tak berdaya oleh penguasa yang bertindak tanpa rasa kemanusiaan dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Akhir abad 19, tahun 1812, Hindia Belanda pernah berencana membangun waduk Jatigede tetapi ditolak oleh Dalem Pancaniti atau Bupati Pringga Koesoemah Wangsaradja atau Oesman Ardikoesoemah atau Pangeran Koesoemah Adinata atau Angga Diredja 1 atau yang dikenal dengan Pangeran Kornel. Penolakan ini karena waduk tersebut akan merendam tanah, sawa, ladang subur dan petilasan leluhur Sumedang.

Tahun 1963, Presiden Soekarno mengangkat wacana waduk Jatigede dibantu oleh Bank Dunia, namun gagal setelah Soekarno runtuh tahun 1965. Tahun 1980, Soeharto mulai merintis pembangunan Jatigede dengan memaksa masyarakat menjual tanahnya. Tanggal 25 Maret 1992 IGGI bubar dan Indonesia menolak bantuan Belanda, yang berakibat di tahun 1990-an akhir, Bank Dunia mundur.

Tahun 2000-2007 tidak ada kejelasan pendanaan Jatigede. Tahun 2007, pemerintah SBY-JK dapat pendanaan dari Synohidro, China. Tahun 2007, Yusuf Kalla datang ke China dan mendapat kepastian pendanaan melalui Bank Exim China. Tahun 2008 pembangunan waduk dimulai sampai tahun 2011. Pembangunan waduk Jatigede ini investor dan pembangunnya dari China. Sampai akhir jabatan SBY, tidak ada penandatanganan Pepres karena masih banyaknya masalah di lapangan.

Tahun 2015, Presiden Jokowi menandatangani Pepres No.1/2015 untuk menuntaskan ganti rugi dan santunan bagi korban penggenangan. Ironis, tagline “blusukan” Jokowi yang diharapkan oleh warga Jatigede hanya tinggal harapan.

Perjuangan panjang pun hanya diungkapkan dengan rapat “10 menit” beres. Bukan lagi melihat kemanusiaan dan kecintaan kepada alam semesta, tetapi seakan menunjukkan kejumawaan atas pernyataan tersebut. Ironis, bukan melihat dengan evaluasi, tetapi malah bangga untuk menyakiti rakyat sendiri.

Keberhasilan atau prestasi bukanlah dari gedung-gedung yang tinggi menjulang, bukan dengan waduk-waduk yang mengampar, tetapi pada rasa aman dan tentram pada hati setiap rakyat dan kebebasan menghirup udara segar hutann lindung. Rakyat yang sudah memiliki swasembada pangan yang kuat bahkan surplus setiap tahunnya menjadi linglung karena hilangnya mata pencahariannya. Ada 11.000 KK dari 28 desa yang akan ditenggelamkan akan hidup terlunta-lunta. Penggantian Rp.122 juta bagi KK lama dan Rp.29 juta KK baru seakan menjadi olokan di saat harga-harga yang meninggi.

Dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang digenangi sudah jelas, mereka tidak tahu mau pindah kemana dan mendapat mata pencahariaan apa untuk masa depan. Lalu, untuk siapa waduk Jatigede bila masyarakat yang tergenangi malah berada di tenda-tenda? Bahkan yang sangat memilukan, untuk pencairan uang ganti rugi pun masih ada oknum yang memotongnya sampai jutaan rupiah. Tepat kiranya warga Jatigede berada pada istilah “sudah jatuh tertimpa tangga.”

Dampak lingkungan, waduk tersebut seakan mengumpulkan tanah-tanah gembur dan lumpur dari hulu Sungai Cimanuk. Selain pohon dan satwa yang hilang, maka akan menjadi permasalahan lingkungan yang mempengaruhi pada air sendiri.

Dampak budaya, secara jelas, waduk ini akan menggenangi 33 situs budaya lama Sunda. Ada banyak jejak lulehur Sunda yang akan tenggelam. Penggenangan ini seakan menyambung luka lama akan bukit Badigul yang tergusur dan kabuyutan Rancamaya yang telah menjadi komplek perumahan. Di Jatigede ada kabuyutan Cipaku, dan hutan larangan Cipeueut. Kearifan lokal yang menatapkan bahwa sebatang ranting pun tidak boleh diambil dari hutan larangan kini malah akan ditenggelamkan. Ada banyak situs dan petilasan para raja Sumedang yang akan hilang.

Ada mitologi bendungan Jatigede yang menjadi cerita rakyat warga Jatigede, yaitu “lemah sagandu diganggu balai sadunya dan sasakala Sangkuriang Kabeurangan.” Menurut kasepuhan Kabuyutan Cipaku, celah di tebing yang dibelah oleh Sungai Cimanuk, itu bernama Sanghyang beuheung, dan tebingnya bernama Pareugreug. Pareugreug ini adalah batas kawasan Lemah Sagandu Kabuyutan Cipaku sebelah utara, di sebelah barat ada Tebing Pasiringkik, di sebelah selatan batasnya Gunung Penuh, dan sebelah timur batasnya Gunung Jagat. Adapun pusatnya ada di Situs Cipeueut Aji Putih Kabuyutan Cipaku.

Mengutip perkataan Juri Lina, (Architects of Deception-Secret History of Freemasonry), ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri, yaitu kaburkan sejarahnya, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya, dan putuskan hubungan mereka dengan leluhur.

Hari ini, tombol penggenangan sudah dipijit oleh Kementrian PU dan Gubernur Ahmad Heryawan, tetapi para pelajar tetap sekolah dan upacara, rumah-rumah masih berdiri tegak karena tidak jelas dengan ganti rugi. Ada sejuta masalah yang belum terselesaikan, hal yang terpenting, dimana warga harus pindah? Di mana para siswa harus belajar? Di mana ganti hutan yang ribuan hektar? Di mana ganti sawah milik masyarakat Jatigede?

“Urung-urung burung Sangkuriang

Cimanuk burung dibendung

Cai banyu pada lunga

Mulia badan sampurna.”

(Piburungan Sangkuriang)

“Cicingkeun, pageuhkeun, kukuhkeun.”

---

Ref: Save Jatigede

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun