Dampak budaya, secara jelas, waduk ini akan menggenangi 33 situs budaya lama Sunda. Ada banyak jejak lulehur Sunda yang akan tenggelam. Penggenangan ini seakan menyambung luka lama akan bukit Badigul yang tergusur dan kabuyutan Rancamaya yang telah menjadi komplek perumahan. Di Jatigede ada kabuyutan Cipaku, dan hutan larangan Cipeueut. Kearifan lokal yang menatapkan bahwa sebatang ranting pun tidak boleh diambil dari hutan larangan kini malah akan ditenggelamkan. Ada banyak situs dan petilasan para raja Sumedang yang akan hilang.
Ada mitologi bendungan Jatigede yang menjadi cerita rakyat warga Jatigede, yaitu “lemah sagandu diganggu balai sadunya dan sasakala Sangkuriang Kabeurangan.” Menurut kasepuhan Kabuyutan Cipaku, celah di tebing yang dibelah oleh Sungai Cimanuk, itu bernama Sanghyang beuheung, dan tebingnya bernama Pareugreug. Pareugreug ini adalah batas kawasan Lemah Sagandu Kabuyutan Cipaku sebelah utara, di sebelah barat ada Tebing Pasiringkik, di sebelah selatan batasnya Gunung Penuh, dan sebelah timur batasnya Gunung Jagat. Adapun pusatnya ada di Situs Cipeueut Aji Putih Kabuyutan Cipaku.
Mengutip perkataan Juri Lina, (Architects of Deception-Secret History of Freemasonry), ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri, yaitu kaburkan sejarahnya, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya, dan putuskan hubungan mereka dengan leluhur.
Hari ini, tombol penggenangan sudah dipijit oleh Kementrian PU dan Gubernur Ahmad Heryawan, tetapi para pelajar tetap sekolah dan upacara, rumah-rumah masih berdiri tegak karena tidak jelas dengan ganti rugi. Ada sejuta masalah yang belum terselesaikan, hal yang terpenting, dimana warga harus pindah? Di mana para siswa harus belajar? Di mana ganti hutan yang ribuan hektar? Di mana ganti sawah milik masyarakat Jatigede?
“Urung-urung burung Sangkuriang
Cimanuk burung dibendung
Cai banyu pada lunga
Mulia badan sampurna.”
(Piburungan Sangkuriang)
“Cicingkeun, pageuhkeun, kukuhkeun.”
---