Mohon tunggu...
Yoyo Wijianto
Yoyo Wijianto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Ayah satu anak yang menyukai kesederhanaan, kebersahajaan dan canda tawa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sepiring Nasi dari Sang Pahlawan

8 Januari 2015   03:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:35 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Layaknya sebuah interaksi sosial, ending dari riuh-ramainya pesta demokrasi memang sering kali menyisakan gejolak. Lihat saja, di sudut-sudut kampung, warung-warung kopi, hingga obrolan sekelas talk show di media elektonik pun, masih menunjukkan ‘sinyal khas’ berbau gejolak pasca pesta demokrasi.
Satu sisi, kesadaran sekelompok orang setidaknya dimaknai sebagai dalih yang cukup luwes, “Tak usah terlalu berlebihan, toh di akhir cerita, nyatanya kita harus tetap cari makan sendiri!”, mungkin ada benarnya juga. Pasalnya, setelah pesta usai, sewajarnya kita akan merajut kembali benang-benang persaudaraan yang ‘cantik’, yang bahkan lebih dari segalanya. Selainnya, kita meski kembali ke jejak awal; mengaktualisasi diri, menghantamkan cangkul-cangkul kehidupan kembali.

Rasa ‘dingin’ itu masih ada

Sekalipun tokoh-tokoh terpilih sudah menduduki tangkup jabatannya, tak dapat dipungkiri jika rasa ‘dingin’ itu sebenarnya masih ada. Walau tak sepanas dulu, sejenis cibiran kecil maupun ungkapan bernada miring masih tetap terpampang di baliho batin kedua ‘mantan’ pendukung calon.

Tengok saja kebijakan naik-turun harga bbm, menteri bertato, pelanggaran HAM hingga permasalahan lumpur Lapindo yang belakangan mengaktual kembali. Kesemuanya diungkap melalui komunikasi masyarakat bawah yang renyah tapi menggigit. Masing-masing saling mengunggulkan bahkan melemahkan. Walau tak selugas dulu, tapi tetap saja, bahwa rasa dingin itu masih ada.

Layaknya Sandiwara

Politik memang selayak sandiwara kolosal dengan skenario yang amat apik, denga tim kreatif yang bahkan lebih brilian dari penggagas ide-ide biasa. Hari ini kawan, esok bisa jadi lawan, hari ini berkoalisi, besok bisa jadi inkonsistensi. Tak heran, jika penonton sandiwara kelas bawah meski mengerutkan dahi untuk sekedar bisa menebak-nebak endingnya.

Bagi para elite, kenyataan demikian mungkin saja merupakan bagian dari improvisasi politik yang amat lazim. Namun, lain cerita dengan para pengagum ‘mantan calon’ yang sudah terlanjur fanatik. Bagi mereka, yang mereka coblos berikut rombongannya-lah yang terbaik. Beragam statemen, sanggahan, dan pembelaan pun mereka lontarkan demi memuji tokoh-tokoh idolanya.

Nasib wong cilik

Lain halnya dengan wong cilik (baca:orang kecil, demikian meminjam istilah orde baru), sebuah kebijakan yang dianggap bernilai akan dimaknai sebagai segala sesuatu yang dianggap paling nyaman, paling menguntungkan dan paling menyenangkan. Wong cilik cenderung tidak menghiraukan analisa-analisa ekonomi, formula-formula, ataupun sekedar kata-kata yang kental dengan akhiran -asi.

Ini lucu, sebab kebiasaan melontarkan kalimat berakhiran –asi bagi sebagian pujangga politik, tampaknya sungguh memusingkan kaum ramai, “koalisi, negoisasi, klarifikasi, interpelasi, komunikasi, kapitalisasi dan sejenisnya”. Jika tak pecaya, silahkan tanyakan pada meraka, mana istilah yang lebih disukai “koalisi atau nasi?”
Jika benar jawaban meraka ‘nasi’, mungkin saja mereka tengah terobsesi dengan kebutuhan sehari-harinya, utamanya adalah nasi sebagai penyumbang energi utama kehidupannya. Dengan demikian, tak terlalu muluk-muluk apabila sepelik apapun keadaan di republik ini, hendaknya para penentu kebijakan takkan tega menganggu ‘makanan’ wong cilik.

Dengan bahasa lain, harga kebutuhan pokok macam beras meski terjangkau, harga kebutuhan sehari-hari semestinya pula dapat diupayakan dengan mudah, termasuk hal-hal yang menunjang upaya mereka memeroleh makanan, semisal biaya trasportasi dan sejenisnya. Yang demikian tampaknya amat wajar, sebab dalam diri mereka, siapapun yang mengupayakan kemudahan, tak peduli dari unsur dan golongan manapun, merekalah sang pahlawan pujaan.

Jika demikian adanya, maka kenangan dari pelbagai rentetan pesta demokrasi yang mengharu-birukan republik ini, telah sampai pada musim panen, tepatnya pesta panen. Kini tibalah saatnya memetik buah kesadaran dari pembelajaran berharga. Beragam cibiran konyol meskinya telah musnah, tertutup oleh semangat baru yang lebih segar, “Sudahlah, semua sudah berakhir!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun