Cerpen Yoyo Goyol (@yoyo_setiawan_79)
Tak banyak yang kuingat saat umurku dulu 6 tahun. Tahun 1986, entah bulan apa aku lupa. Kulihat di pinggir jalan yang aspalnya mulai mengelupas karena seringnya turun hujan. Dan bagaimana aspal jalan yang sudah tua tidak mengelupas, yang melintas truk besar dengan muatan puluhan ton. Ada banyak truk yang lalu-lalang setiap harinya membongkar batang-batang cor sepanjang 6 atau 7 meter.
"Benda apa itu, pak?" tanyaku saat membonceng sepeda kumbang bersama bapak.
Beliau bilang, "Itu tiang listrik, nak."
"Listrik itu apa, pak?" aku semakin penasaran. "Listrik itu alat untuk menyalakan lampu pengganti lampu teplok di rumah, atau bisa juga alat untuk menyalakan televisi menggantikan aki." Bapak panjang lebar menjelaskan. Oh, begitu toh. Tapi aku belum puas dengan jawaban bapak.
Besoknya, aku lihat lagi beberapa truk menurunkan puluhan tiang listrik di depan Sekolah Dasar Sibalung 2, yang kelak menjadi sekolah keduaku, sekarang aku masih duduk di sekolah Taman Kanak-kanak Darma Wanita Sibalung. Â Jumlah yang sama dengan kemarin yang orang-orang turunkan tiang-tiang listrik itu di sebelah Pasar Sibalung.
Aku rajin melihat-lihat orang yang bekerja menurunkan tiang listrik itu, ada yang aneh dengan pakaiannya. Kalau yang biasa aku lihat bapak atau orang kampung sini, bekerja mencangkul di sawah. Mereka paling memakai capil atau topi tudung dan pakaian apa adanya, baju jelek! Kalau ini, beda. Terlihat pakaiannya sama semua orang, seragam. Bajunya kaos biasa tapi masih memakai jaket warna kuning dengan garis perak di depan-belakang badannya. Kelihatan keren, aku suka melihatnya!
Seragam yang bagus juga topi yang dipakai bukan topi seperti pak Tani. Topinya bagus, terbuat dari plastik tebal warna kuning. Oh iya, bentuknya mirip helm pengaman saat naik sepeda motor bebek C70. Baru nanti saat aku sudah kenal dengan beberapa pekerja, itu namanya helm proyek.
Sayangnya, baru beberapa hari terlihat akrab dengan bapak-bapak ini, besoknya pamitan katanya pindah bekerjanya ke desa sebelah, tugas yang sama melanjutkan menurunkan batang --batang cor tiang listrik. Sempat aku bersedih, tapi kata mereka, akan ada orang baru dari rombongan lainnya yang bertugas mendirikan tiang listrik.
Benar juga, besoknya sudah ada orang-orang baru dengan badan yang lebih besar-besar, terlihat gagah dan ganteng! Aku lebih semangat melihat tontonan gratis setiap siang selepas pulang sekolah. Kadang kalau sampai keasyikan menonton, aku dipanggil-panggil mama, disuruh pulang makan siang dulu. Kala aku tak bergeming, lebih memilih melihat orang-orang itu, sampai dimarah-marah mama. Kata mama, aku bandel, sering abai perintahnya.
Melihat kebandelan aku, beberapa orang itu malah sering membela. Biarkan saja, Bu. Namanya juga anak-anak. Tapi mamaku pintar menjawab, kalau aku sering telat makan, besoknya sakit perut, kata mama, namanya sakit maag. Saat mamaku sudah menjelaskan panjang-lebar, maka orang-orang itu hanya tersenyum dan manggut-manggut. Entah apa artinya, hanya orang dewasa yang tahu.
Teman aku, Turiman namanya, lebih bandel dariku.Saat menonton bisa lebih dekat ke orang-orang itu. Mama melarangku, ikut-ikutan seperti itu. Tapi sama orangtuanya tidak dimarah-marahi, heran juga aku. Kenapa orang dewasa mempunyai cara berbeda-beda menghadapi anak kecil seumuran aku? Tapi, keheranan aku terjawab sudah siang ini, saat Turiman jatuh di sawah,kakinya berdarah, dan tangannya terkilir. Sontak, mamaku lebih semangat marah-marahnya, melarangku menonton orang yang bekerja itu, berbahaya!
Rupanya, kemarahan mamaku masih berlanjut. Tak berhenti seperti biasanya. Saat mengantar aku sekolah, mama terlihat bincang-bincang memakai bahasa Jawa halus dengan bu guru, aku tidak paham. Ternyata, setelah masuk kelas, bu guru menjelaskan bahaya listrik, termasuk menonton orang yang bekerja mendirikan tiang listrik kalau terlalu dekat.
Entah mengapa, telinga aku kok lebih menerima pelajaran yang berisi nasihat bahaya itu daripada nasihat serupa yang terucap dari mama sendiri. Apa karena mama sering marah-marah? Tapi, walau bagaimanapun, aku sangat sayang sama mama. Sepulang sekolah, aku lebih memilih diam di dalam rumah bermain bersama undur-undur.
Binatang yang jalannya mundur, perutnya gendut, kepala sangat kecil dan rumahnya lucu. Kalau terlihat tanah berlubang-lubang mirip corong, berarti di bawahnya ada binatang undur-undur ini. Biasanya sering terlihat di bawah bilik rumah, dipojokkan. Rumah aku dan tetangga semua rumah kayu dengan temboknya terbuat dari bilik atau kayu.
Aku sedang kalut atau bahasa anak milenial sekarang, "galau". Nasihat bu guru bisa aku terima, tapi kok seperti mengikuti kata-kata mama? Bingung dengan cara berpikir orang dewasa. Hatiku kesal dengan mama, tapi karena aku sayang mama, maka diamlah pilihanku.
Tak biasanya, bapak hari ini pulang kerja lebih awal. Ada bungkusan terlihat tergantung di stang sepeda kumbangnya. Hore...bapak bawa jajan! Hatiku sontak bahagia. Hilang sudah gundah-gulana entah ke mana. Cepat kutinggalkan undur-undur di tanah, kusambut bapak dengan cium tangan mesraku. Bapak membalas dengan mencium pipiku.
"Ada jajan buat anak tersayang, asal nurut sama bapak ya?"  Lembut bapak mengajakku  bicara sambil mengelus rambut kepalaku yang kemerah-merahan karena tiap hari bermain panas-panasan.
Aku curahkan perasaan dengan sedikit terisak, betapa tidak, mama melarang bermain melihat orang-orang itu dengan marah-marah. Â Apalagi setelah kecelakaan Turiman itu. Bapak rupanya paham dengan kegundahanku. Beliau bijaksana, tidak pakai marah tapi bisa menjawab permasalahan hatiku.
Sebagai hadiah aku menurut sama bapak, hari Minggu beliau mengajak rekreasi ke tempat favorit warga desaku, pantai Widara Payung, masuk wilayah Nusawungu, Cilacap.
Perjalanan yang harus ditempuh sepeda bapak yang seharusnya cukup satu setengah jam, kini terasa sangat lama. Aku dibonceng dengan alat boncengan yang dipasang di stang sepeda. Mama duduk di boncengan belakang dengan memegang tas bekal penuh makanan.
Matahari sudah meninggi saat kami sampai di tujuan. Terik matahari tidak terasa dengan adanya hembusan angin pantai yang cukup kencang. Kusapukan pandangan ke depan, ombak  besar bergulung-gulung dan pecah di bibir pantai landai berpasir hitam. Hatiku lega, plong. Keresahanku hilang tertiup angin pantai baru saja.
Awalnya hati dan pikiran masih terpaut dengan asyiknya menonton bapak-bapak yang mengerjakan proyek tiang listrik itu, tapi lama-lama sirna. Terganti dengan semangat, sesemangat ombak menghantam batu karang.
Baru sadar, aku ternyata anak yang sangat diakung kedua orangtua, mereka lebih tahu potensi bahaya yang akan menimpa anaknya, melarang anaknya demi keselamatan walau kadang bahasa penyampaianya tak bisa dipahami di awal.Ternyata bapak dan mama sangat menyayangiku.
---&&&---
Pagak-Malang, 17-12-2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H