Hari ini, Kamis, 9 Desember 2021 diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia dengan tema "Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi". Entah karena efek pandemi atau alasan lain, hari perigatan ini tidak semarak di desaku. Apa di desa tidak ada korupsi?
Sudah bukan rahasia lagi, korupsi telah mendarah daging di negeri ini. Mungkin yang hampir setiap saat diberitakan di media massa adalah kasus korupsi di kota. Namun tidak menutup kemungkinan terjadi juga di desa. Buktinya apa? Ya pasti ditutup-tutupi.
Kisah seputar pemilihan kepala desa (kades) di era digital ini contohnya, masih mempraktekkan tradisi zaman kuno. Masih banyak kita dengar, warga memilih calon kades bukan karena kapabilitas calon tersebut. Tetapi karena besarnya nilai suap dari calon kades itu. Misal ada 3 calon, yang mampu memberi uang terbesar itu oknum A, maka dipastikan si A nanti mendapat suara terbanyak.
Tentu, bukti sudah di depan mata, tapi tak mudah menjerat pelaku untuk dimintai pertanggungjawabannya. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Kalau pihak pemenang adalah tokoh yang disegani masyarakat, tentu tak banyak yang menentang toh mereka sudah dapat uang?
Sebenarnya apa keuntungan sang calon apabila menang dalam pemilihan? Sudah habis-habisan modal sangat banyak dengan nantinya "hanya" mendapat lahan garapan/ bengkok (tanah milik desa untuk dimanfaatkan perangkat desa). Tentu sesuatu yang "kurang sebanding" atau susah balik modalnya!
Jadi pemenang pemilihan kades ini --di zaman sekarang---tidak akan mendapat keuntungan hasil dari mengolah tanah desa karena modal begitu besar saat perang politik uang. Itu yang menang saja merasa kalah ratusan juta atau bahkan sampai angka milyar. Apalagi pihak calon kades yang kalah? Darimana utang sebesar ratusan juta itu akan dilunasi? Ya, kalau yang menang walau masih utang besar masih dapat fasilitas tanah desa, sedang yang kalah tidak mendapatkan apapun!
Kalau dipikir lebih jauh, untuk apa seseorang kok nekad mencalonkan diri menjadi kades hanya modal utang? Hasil survey dan informasi dari berbagai sumber ternyata itu semua demi kehormatan! Kata anak "zaman now", "Hari gini, masih mengikuti gengsi, harga diri atau rasa iri dengki?" Â Mungkin bagi generasi milenial hal ini tidak begitu penting, buat apa semua itu? Tapi beda dengan mereka, harga diri segalanya!
Bagi mereka, contohnya apabila calon kades mempunyai garis keturunan kepala desa harus dipertahankan. Caranya? Ya, itu tadi, menghalalkan segala cara apabila jelas-jelas secara kriteria tidak memungkinankan menang pemilihan. Terus pihak selain dia, juga menginginkan hal sama, nilai kehormatan keluarga akan semakin bersinar apabila seseorang naik jabatan menjadi kades. Semua cara ditempuh, walau korupsi sekalipun!
Untuk lepas dari jerat korupsi tak semudah membalik telapak tangan. Banyak godaan di sana-sini. Termasuk proses pemilihan kades ini. Kalaupun ada kesepakatan dari panitia dan diawasi ketat, sekali lagi, itu semua hanya prosedur di atas kertas. Kenyataan di lapangan berbeda jauh. Sekali lagi, uang berkuasa. Kalau sudah seperti ini, siapa yang rugi? Tentu calon kades yang sebenarnya memenuhi kriteria dan mampu, karena kalah besar politik uangnya, sia-sia.
Kapan budaya politik uang/ korupsi suara di desa hilang? Ini tantangan besar untuk generasi muda milenial. Kalau budaya gengsi masih bercokol di pikiran dan hati, maka tunggu kehancurannya! Sudah saatnya dengan kecanggihan teknologi dan majunya tingkat pendidikan masyarakat, pola pikir lama harus dihapus.
Bukan saatnya lagi, jabatan kades dijadikan lahan mengeruk keuntungan. Maka logisnya, generasi milenial meliris bisnis yang sehat dari sektor swasta yang terbuka lebar untuk mendapatkan kesuksesan dan kelimpahan materi. Karena sejatinya, menjadi kades adalah amanah sosial, mengabdikan diri kepada masyarakat, bukan sebaliknya.
Artikel Yoyo Goyol (@yoyo_setiawan_79)
---&&&----
Pagak-Malang, 09-12-2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H