Awalnya aku hanya sering melihat kucing kecil ini di warung makan langganan depan perumahan. Semakin hari, kucing kecil dengan warna merah, putih dan abu-abu itu semakin dekat denganku.Â
Setiap aku datang, duduk mengantri dilayani, pastinya dia langsung menempel dan menggosok-gosok tubuhnya ke kakiku. Seperti hendak mengajak ngobrol, hai ini aku, beri aku makan, tuan!
Memang, sudah terbiasa, kalau aku beli tempe goreng misalnya, pasti aku tambah satu, tambahan ini khusus buat kucing kecil itu. Aku cuil-cuil, membentuk potongan kecil-kecil dan kutaruh di wadah makan dia yang sudah disediakan pemilik warung.Â
Ada sekitar satu bulan, aku mempunyai kebiasaan aneh ini. Akhirnya sang empunya warung mengetahui kebiasaan saya yang sayang kucing. Ternyata, dia tidak marah! Lebih bersyukur lagi, akhirnya kucing kecil boleh aku bawa pulang.
Ada tantangan tersendiri sesampai di rumah, karena istri dan anak tidak suka hewan mungil ini, maka aku harus repot membuatkan kotak untuknya. Istri yang cerewet kalau kucing kecil suka buang kotoran sembarangan. Aku yang mengalah, bakal melatih si Belang, nama baru kucing mungil ini.
Banyak perkembangan si Belang ini. Sekarang lebih menurut, baru dipanggil sekali: "Belang!", langsung menghambur ke pangkuanku.
Menu makan si Belang, kucing persilangan  antara Anggora dan kucing kampung, aku latih bervariasi. Dari pakan instan, ikan segar, tempe, tahu dan bahkan krupuk aku berikan.  Namun, kebahagiaanku hanya berlangsung 3 bulan.
Suatu pagi setelah aku jogging, kudapati Si Belang terbaring lemas di teras dengan bibir membiru dan mengeluarkan busa. Masyaallah, Si Belang keracunan! Entah apa penyebabnya, aku tidak terlalu memusingkan, yang ada di otak adalah secepatnya memberikan obat penawar.Â
Di otakku langsung terlintas: kelapa atau degan! Karena wilayah perumahannku hanya berbatasan tembok dengan warga kampung yang banyak menanam pohon kelapa, aku tinggal memutar keluar tembok, membeli kelapa ke warga kampung.
Bersyukur, setelah tiga kali dalam sehari itu aku minumkan air kelapa, berangsur si Belang pulih. Sudah kembali napsu makannya yang lahap itu. Kembali aku dibuat kaget, keesokkan harinya si Belang terbaring lemas. Masa jatuh sakit lagi? Tak kulihat bibir membirunya, berarti tidak keracunan.Â
Aku cek sekali lagi, badannya panas. Kugendong badannya yang terlihat agak kurus, kutaruh di dalam keranjang lengkap dengan makanan dan minumnya.