Mohon tunggu...
Yoyo Setiawan
Yoyo Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Melengkapi hidup dengan membaca dan menulis; membaca untuk menghayati betapa ruginya hidup tanpa ilmu, menulis untuk meninggalkan jejak bahwa kehidupan ini begitu berwarna.

Tenaga pendidik dunia difabel yang sunyi di pedalaman kabupaten Malang. Tempat bersahaja masih di tengah kemewahan wilayah lain. Tengok penulis kala sibuk dengan anak istimewa, selanjutnya kamu bisa menikmati pantai Ngliyep nan memesona! Temani penulis di IG: @yoyo_setiawan_79

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kursi Roda yang Berkarat

12 November 2021   23:49 Diperbarui: 12 November 2021   23:52 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"KURSI RODA YANG BERKARAT" ( Bag.1)

Asih, istri Budi, terlihat acak-acakan sepagi ini. Bangun tidur, menunaikan salat subuh dan pergi ke tempat favorit barunya. Terdiam duduk di pojok halaman. Apa yang dikerjakannya? Tidak ada. Hanya diam memandangi kursi roda di sebelahnya yang telah ditinggalkan pemiliknya. Sekelebat melintas di pikiran Asih, Widia, anak perempuan nomor dua, terjatuh dan duar...!

Tubuh mungilnya tertabrak mobil yang datang dari belakang.

"Tidak...Widia, Widia, bangun nak! Ini ibu nak, ayo bangun, minum obat dulu biar sembuh!" Asih teriak-teriak kemudian terisak, air mata meleleh dari kedua pipinya.

Budi buru-buru datang dari dalam rumah, menghampiri dan memeluk Asih dengan lembut dari belakang.

"Sayang, sudah ya. Sekarang mandi dulu pakai air hangat, aku sudah siapin di kamar mandi barusan !", sapa Budi perlahan dan mengelus rambut kusut istri tercinta yang kini sedang tergoncang jiwanya akibat kematian mendadak anak perempuan satu-satunya.

Yang diajak bicara hanya menggeleng-gelengkan kepala. Asih masih tenggelam dalam kesedihan setelah tiga bulan Widia berpulang.

"Sayang, aku tahu, kamu ingin jalan-jalan ya? Habis mandi dan sarapan pagi, kita ke Taman Dempok yuk?", rayu Budi belum menyerah.

Menjelang seratus hari kepergian Widia, Asih, seorang ibu yang mengandung dan melahirkan, sangat belum siap kehilangan anak perempuan yang dulu lama didambakan. Hancur hati tak berperi. Luka bukan sembarang luka, Budi tak tahu lagi apa obatnya. Hanya memperlihatkan wajah semangat, tegar di hadapan Asih, sebenarnya, hati Budi juga tidak bisa dibohongi, sangat kehilangan!

Sedih itu menular, hampir saja air mata Budi ikut tumpah berada di sebelah Asih yang senantiasa berhari-hari terisak. Cepat ia tersadar, diseka kedua pipi Budi, coba tersenyum bahagia di depan Asih. Walau hatinya merintih, ya Allah, kapan semua ini berakhir?

"Sayang, ini sudah pukul 7 lho, sudah siang. Ayo mandi terus jalan-jalan, katanya semalam ingin ke Taman Dempok?', coba rayu lagi Budi setelah menemani diam Asih. Tampak istri yang dinikahi sepuluh tahun lalu begitu sayu, mukanya putih pucat tanpa gairah, entah kemana ceria orang tercinta ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun