Mohon tunggu...
Yoyo Setiawan
Yoyo Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Melengkapi hidup dengan membaca dan menulis; membaca untuk menghayati betapa ruginya hidup tanpa ilmu, menulis untuk meninggalkan jejak bahwa kehidupan ini begitu berwarna.

Tenaga pendidik dunia difabel yang sunyi di pedalaman kabupaten Malang. Tempat bersahaja masih di tengah kemewahan wilayah lain. Tengok penulis kala sibuk dengan anak istimewa, selanjutnya kamu bisa menikmati pantai Ngliyep nan memesona! Temani penulis di IG: @yoyo_setiawan_79

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kursi Roda yang Berkarat

12 November 2021   23:49 Diperbarui: 12 November 2021   23:52 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayah, Widia masih hidup kan?", tanya Asih parau. Aku mengangguk mengiyakan. Hatiku menangis!

"Iya sayang, Widia anak kita, masih hidup sampai kapanpun, dia di hati kita", jawabku menghibur, Budi melingkarkan tangan kiri ke pundak Asih.

"Sudah ditunggu ibu untuk sarapan dan jalan-jalan, ibu ikut kan?" pancing Budi sambil memerhatikan raut muka istri. Coba apa reaksi sekarang, setelah dari tadi diam seribu bahasa.

"Iya, ibu ikut", jawab Asih lirih. Akhirnya menjawab juga, alhamdulillah!

Acara jalan-jalan bersama ibu hanya pengalihan perhatian. Itu hasil diskusi alot bersama ibu, tarik-ulur, keputusan di atas pertimbangan serba salah Budi. Suami paling setia ini, percaya ujian berat dari Allah, Asih akan melewati dengan baik, walau sekarang kondisi istrinya masih shock. Tapi kalau tidak dialihkan perhatian Asih, maunya diam, meratapi dalam diamnya anak cantik di atas kursi roda.

Pernah, Budi mengajak Asih ke psikiter atas anjuran Ibu. Bukan menggembirakan malah semakin sering menangis berlarut-larut. Kadang lupa makan dan lupa tidur. Ada juga yang menyarankan, kalau Asih diruq'yah, boleh jadi kegoncangan jiwanya karena belum ihlas, dibacakan ayat-ayat al Qur'an agar lebih tenang.

Ada perubahan, namun itu hanya satu minggu. Saat ada tetangga yang keluarganya meninggal dunia, Asih kembali merasakan luka hati yang sangat pedih. Kembali berdiam di pojok halaman bersanding dengan kursi roda yang kian berkarat.

Untuk Budi sendiri, ia telah mengihlaskan kepergian anak kedua. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Bukan cuma kita yang sudah dewasa, siapapun hendaknya siap sedia, kapanpun, di manapun, ajal siap mendatangi.

Sebagai mahluk Tuhan harus percaya, tinggal kita siap apa tidak membawa bekal menuju ke sana. Nasihat pak Kyai Mustofa, imam masjid yang selama sebagai tempat mencurahkan isi hatinya. Setelah mengungkapkan, Budi biasanya lebih tenang hatinya.

Sayang sekali, Asih lebih memilih sibuk dengan anak perempuannya ketika diajak ke masjid atau sekedar bersilaturahmi ke rumah pak Kyai Mustofa. Itu sebelum kecelakaan menghancurkan semua masa depan Widia. Maka ketika berbagai cara mengihlaskan kepergian Widia tidak berhasil, Budi sejenak mengendorkan cara-cara yang menguras pikirannya.

Aku merawat istri yang sedang goncang jiwanya, sementara anak pertama, Rafif, juga butuh perhatian dan kasih sayang. Maka, aku tidak boleh terbebani pikiran, aku harus menjaga kewarasanku! Atas masalah ini, Budi beberapa hari yang lalu berdiskusi dengan Ibu, bagaimana mencari cara lain untuk menghibur Asih agar kembali ceria seperti sedia kala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun