"Ayah, Widia masih hidup kan?", tanya Asih parau. Aku mengangguk mengiyakan. Hatiku menangis!
"Iya sayang, Widia anak kita, masih hidup sampai kapanpun, dia di hati kita", jawabku menghibur, Budi melingkarkan tangan kiri ke pundak Asih.
"Sudah ditunggu ibu untuk sarapan dan jalan-jalan, ibu ikut kan?" pancing Budi sambil memerhatikan raut muka istri. Coba apa reaksi sekarang, setelah dari tadi diam seribu bahasa.
"Iya, ibu ikut", jawab Asih lirih. Akhirnya menjawab juga, alhamdulillah!
Acara jalan-jalan bersama ibu hanya pengalihan perhatian. Itu hasil diskusi alot bersama ibu, tarik-ulur, keputusan di atas pertimbangan serba salah Budi. Suami paling setia ini, percaya ujian berat dari Allah, Asih akan melewati dengan baik, walau sekarang kondisi istrinya masih shock. Tapi kalau tidak dialihkan perhatian Asih, maunya diam, meratapi dalam diamnya anak cantik di atas kursi roda.
Pernah, Budi mengajak Asih ke psikiter atas anjuran Ibu. Bukan menggembirakan malah semakin sering menangis berlarut-larut. Kadang lupa makan dan lupa tidur. Ada juga yang menyarankan, kalau Asih diruq'yah, boleh jadi kegoncangan jiwanya karena belum ihlas, dibacakan ayat-ayat al Qur'an agar lebih tenang.
Ada perubahan, namun itu hanya satu minggu. Saat ada tetangga yang keluarganya meninggal dunia, Asih kembali merasakan luka hati yang sangat pedih. Kembali berdiam di pojok halaman bersanding dengan kursi roda yang kian berkarat.
Untuk Budi sendiri, ia telah mengihlaskan kepergian anak kedua. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Bukan cuma kita yang sudah dewasa, siapapun hendaknya siap sedia, kapanpun, di manapun, ajal siap mendatangi.
Sebagai mahluk Tuhan harus percaya, tinggal kita siap apa tidak membawa bekal menuju ke sana. Nasihat pak Kyai Mustofa, imam masjid yang selama sebagai tempat mencurahkan isi hatinya. Setelah mengungkapkan, Budi biasanya lebih tenang hatinya.
Sayang sekali, Asih lebih memilih sibuk dengan anak perempuannya ketika diajak ke masjid atau sekedar bersilaturahmi ke rumah pak Kyai Mustofa. Itu sebelum kecelakaan menghancurkan semua masa depan Widia. Maka ketika berbagai cara mengihlaskan kepergian Widia tidak berhasil, Budi sejenak mengendorkan cara-cara yang menguras pikirannya.
Aku merawat istri yang sedang goncang jiwanya, sementara anak pertama, Rafif, juga butuh perhatian dan kasih sayang. Maka, aku tidak boleh terbebani pikiran, aku harus menjaga kewarasanku! Atas masalah ini, Budi beberapa hari yang lalu berdiskusi dengan Ibu, bagaimana mencari cara lain untuk menghibur Asih agar kembali ceria seperti sedia kala.