Â
      Sampah menjadi primadona masalah saat ini. Benda tak bernilai itu dulu dipandang sebelah mata karena keberadaannya belum menimbulkan masalah seperti saat ini. Masalah pencemaran lingkungan yang bahkan di musim penghujan dapat menimbulkan bahaya banjir, salah satu penyebabnya adalah karena belum adanya manajemen penanganan sampah yang memadai.  Akar masalahnya terdapat pada kebiasaan masyarakat yang membuang sampah secara sembarangan.Â
   Sekolah sebagai agen of change diharapkan mampu merubah perilaku anak sejak dini agar bijak dalam memenej sampah. Anak-anak yang sudah terbentuk karakter dan perilakunya, kelak akan menjadi virus perubahan di skala keluarga dan masyarakat pada umumnya.Â
   Sepintas kegiatan ini  nampak mengasyikkan bagi siswa, ketimbang mendengarkan ceramah guru di dalam kelas.. Walau terik matahari menyengat, siswa tampak senang dan antusias. Poinnya adalah mereka paham betul perbedaan sampah organik dan non-organik. Bahkan lebih dari itu, mereka terbiasa memilah dan membuang sampah pada tempatnya, karena bila tidak, mereka juga yang harus memungut ulang. Capek deh.
   Sampah non-organik yang terkumpul kembali dipilah. Ada yang dimanfaatkan untuk bahan ecobrick, ada juga yang bernilai ekonomis dijual untuk kas pengadaan sarana kebersihan. Sampah kertas yang masih bersih akan dijadikan bubur kertas sebagai bahan kreasi lainnya. Sementara sampah organik akan diproses menjadi kompos.Â
   Sedangkan sampah organik dapur (sod) seperti sisa makanan, buah-buahan atau sejenisnya, rencananya akan dimanfaatkan sebagai pakan dalam program budidaya magot. Magot ini nantinya akan dimanfaatkan sebagai pakan ikan di kolam sekolah.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI