Mohon tunggu...
suryo hadi kusumo
suryo hadi kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan pejuang seni.

saya hanyalah seorang pencinta seni dan pengkahayal, yang memiliki pikiran abstrak, serta mengabdikan diri kepada sebuah seni.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Buya Hamka-Marah Rusli dan Osamu Dazai-Natsume Sosuke

17 Juni 2024   16:29 Diperbarui: 17 Juni 2024   17:03 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tak pelik lagi bahwa pembahasan cinta adalah pembahasan yang tidak ada selesainya, dari zaman dahulu hingga sekarang. Manusia hidup membutuhkan orang lain, alam, hewan dan semuanya ada sebuah keterikatan hidup yang tidak tertulis. Ketika kita dilahirkan maka otomatis kita membutuhkan asuhan orang lain untuk tumbuh kembangnya. Laki-laki membutuhkan perempuan, anak membutuhkan orang tua, masayrakat membutuhkan pemimpin begitupun sebaliknya. Walau dunia ini sangatlah luas namun permasalahan yang terjadi di dunia selalu terulang-ulang di tempat dan waktu yang berbeda. Apabila di amati dengan saksama bahwasanya alam semesta ini mempunya hukum tersendiri, ada pagi dan malam, ada panas dan dingin, ada air dan api, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal ini membuktikan terdapat sebuah harmoni, keteraturan maupun hukum alam (sunnatullah) yang setiap hari berada disekeliling kita.

Dalam kehidupan sosial kita kerap kali menemukan sebuah absurditas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Aku menyebut absurditas itu dengan hukum alam (sunnatullah), baik maupun buruknya suatu hal terdapat sebuah absurditas yang menempel padanya.

Pada zaman awal-awal abad 20 dunia sedang mengalami sebuah peralihan besar-besaran, mulai dari sosial, ekonomi, budaya maupun teknologi. Kemajuan ini sedikit banyak menyumbangkan sebuah manfaat tatkala manusia dihadapkan dengan dunia yang serba cepat. Namun disamping itu juga terdapat bayangan kegelapan yang selalu mengikuti sebuah kemajuan. Kegelapan ini menyebabkan despresi besar-besaran di Amerika Serikat, ketika ekonomi mereka di awal abad 20an anjlok, banyak kriminalitas, kemiskinan dan pengangguran yang meningkat. Peningkatan jumlah kebobrokan ini berasal dari ketidakmampuan manusia menghadapi absurditas atau naik-turunnya kehidupan.

Sebagai ungkapan, simbolis, maupun pelampiasan, masyarakat baik yang berpendidikan maupun tidak turut menyuarakan hal ini melalui banyak media, diantaranya film, novel, puisi, lukisan, musik, bahkan pemberontakan. Dalam dunia sastra terdapat sebuah kerumitan yang menghubungkan antara penulis, pengalaman, dan interpretasinya akan kehidupan yang dijalaninya. Hal ini menjadi menarik ketika kita bisa melihat sebuah pola keterhubungan yang terlihat antara penulis dan zamannya.

Indonesia dan Jepang adalah negara yang memiliki sebuah hubungan unik yang dipisahkan dengan laut dan daratan. Sebagai sesama Asia tentunya kedua negara itu mewarisi nilai-nilai ketimuran yang tidak ada di dunia barat. Namun walau sama tapi tak serupa, dengan bentang alam kekayaan yang dimiliki Indonesia tentunya membuat bangsa Indonesia memiliki pola pemikiran yang berbeda dengan apa yang dimiliki Jepang. Jepang sendiri memiliki luas wilayah yang sempit, yang mana hal itu diperparah dengan ancaman alam yang kerap kali menganggu kehidupan mereka seperti gempa bumi, tsunami, dan badai. Hal ini membuat mereka berpikir keras bagaimana caranya menaklukkan alam mereka. Sedangkan Indonesia dengan kekayaan alamnya, hanya tinggal menikmati serta tinggal memikirkan cara mengolahnya. Hal ini yang membuat bangsa Jepang nekat untuk menyebarangi lautan dalam misi imperialismenya yang mereka bungkus dengan sebuah propaganda persatuan Asia.

Pada tahun sekitar 1920an sampai 1940an Indonesia dan Jepang telah banyak melahirkan karya sastra legendaris yang membawa perubahan yang signifikan bagi perkembangan sastra. Kedua bangsa tersebut memiliki sebuah ciri khas yang berbeda dalam perkembangan sastranya. Bangsa Indonesia yang memiliki kebudayaan gotong royong serta memiliki kepercayaan yang amat besar dengan agamanya masing-masing membuat pola pikir maasyarakatnya berbeda dan unik dibandingkan bangsa lainnya. Begitupun Jepang dengan semangat Bushidonya, serta memiliki keterbukaan yang sangat luas dalam menerima pengaruh barat, hal ini mengakibatkan Bangsa Jepang juga memiliki keunikannya tersendiri.

A.R Radclife dalam teori Struktural-Fungsionalismenya menjelaskan bahwa masyarakat tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan kebudayaan. Kebudayaan menjadi motor penggerak bagi segala lini kehidupan mereka, karena dirasa memiliki manfaat bagi mereka. Jadi perbedaan pandangan antara pemikiran bangsa Jepang dan Indonesia sangat jelas, Bangsa Jepang yang terikat dengan Bushidonya menganngap hal itu bermanfaat bagi mereka, begitupun juga Indonesia dengan Gotong Royongnya. Perbedaan pola pandang ini dipengaruhi oleh bentang alam dan juga lingkungan sosial mereka yang berbeda.

Pada awal abad 20an tokoh terkemuka di Indonesia mulai mengarang karya sastra yang sedikit banyak terinspirasi oleh lingkungan sekitar mereka. Contohnya Marah Rusli yang melihat banyak fenomena jodoh yang dipaksakan atas nama ekonomi maupun agama. Hal ini ia manifestasikan pengalaman tersebut dalam sebuah novel yang berjudul “Siti Nurbaya”. Juga Buya Hamka yang memanifestasikan kisah cinta tak sampai dalam karanga novelnya yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Hal ini sedikit banyak terinspirasi dari kehidupan sosial yang berkembang di dalam lingkungan masyarakat di Indonesia. Keputusasaan seseorang yang membawa mereka dalam sebuah kegelapan, membuat mereka buta dalam membedakan mana yang baik maupun benar. Namun dibalik itu, nilai-nilai religiusitas dalam karya mereka terasa sangat jelas. Di samping itu sifat ramah dan tolong-menolong sesama masayrakat juga terasa jelas. Setelah bertahun-tahun lamanya seusai mereka meninggal, karya sastra mereka menjadi tolok-ukur serta dianggap sebuah kejeniusan yang melampaui zamannya.

Berbeda dengan Jepang, di Jepang sendiri ada sebuah kekhasan yang tidak kita temukan di perkembangan awal sastra Indonesia. Masyarakat Jepang adalah masayrakat yang menjunjung tinggi kehormatan, hingga mereka sekuat tenaga tampil lebih unggul daripada negara lainnya. Namun hal ini terkadang menjadi bumerang bagi masyarakatnya. Walau banyak yang bertahan dengan filosofi itu, namun banyak juga yang tumbang. Karya Natsume Soseki yang berjudul “Kokoro (Hati)” mereprentasikan peliknya kehidupan sosial di Jepang. Kebingunggan pemikiran tokoh utama dalam memproses dan menilai sesuatu menjadi sesuatu yang sangat susah digambarkan dan dijelaskan. Bahwasnya seorang pria terkadang memiliki hati yang rumit dibandingkan wanita. Hal ini diperparah dengan tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh salah seorang pria dalam kisah itu. Rasa harga diri bushido, malu, dan lain sebagainya bercampur aduk. Sehingga salah seorang diantara mereka merasa gagal dalam menjalani hidup.

Di generasi yang tidak jauh dari Natsume Sosuke, Osamu Dazai dengan karyanya “Ningen Shikaku (Gagal menjadi manusia)” adalah sebuah maha karya legendaris Jepang yang lahir dari sebuah lingkungan yang sedemikian rupanya. Kisah yang dituliskan oleh Osamu Dazai lebih gelap lagi daripada yang dikisahkan oleh Natsume Soseki. Ketidakpercayaan diri yang terlahir karena paksaan orang tua, serta sampai hanyutnya tokoh utama dalam melampiaskan kekesalan itu pada narkoba, alkohol, dan wanita. Membuat tokoh utama itu mampu bangkit dari kegelapannya, rasa keterasingan yang lahir karena memiliki perbedaan dengan masyarakat normal lainnya membuat ia membunuh dirinya sendiri. Bahkan sang penulis bunuh diri dalam keterasngannya di dalam masyarakat.

Persamaan karya-karya tersebut adalah karya tersebut mereprentasikan zaman serta pola pikir masyarakatnya. Sedangkan perbedaannya ialah karya sastra Jepang lebih berhubungan dengan modernitas dengan kacamata kegagalan masyarakat yang menganut Bushido. Sedangkan di Indonesia lebih terkait oleh adat dan istiadat, serta agama. Keduanya memiliki keunikannya dan mewakili zamannya masing-masing. Bahkan pada zaman ini masih berlanjut hal yang sedemikian rupanya walau berbeda waktu dan tempat.yang lebih meyakinkan lagi bahwa karya sastra mereka menjadi acuan masyarakatnya yaitu bahwasanya karya-karya tersebut melegenda serta yang terbaik di sepanjang masa. Pandangan terbaik sepanjang masa tersebut sudah mereprentasikan bagaimana pemikiran masayrakat tersebut akan kehidupan. Apabila karya tersebut tidak termasuk yang melegenda tentunya pola pemikiran masayrakatnya juga berbeda. jadi konklusinya adalah karya sastra adalah penggambaran pola pemikiran masyarakatnya. Hal itu terjadi juga dengan Franz Kafka, Leo Tolstoy, Albert Camus dan tokoh lainnya di wilayah yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun