Mohon tunggu...
satria bisma
satria bisma Mohon Tunggu... -

jiwa anak kecil yang bersemayam dalam wajah orang dewasa

Selanjutnya

Tutup

Money

kereta malam

29 Juli 2010   08:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tapi, jangan berpikir bahwa kesulitan berhenti disitu kawan, karena ternyata pintu kereta tidak dibuka. Alhasil aku menggantung begitu rupa, menggedor-gedor minta dibukakan pintu. Orang di dalam sana menggeleng, tidak mau membuka. Celaka, ini di luar prediksi kami semua. Tanpa putus asa, kami terus menggedor, kali ini dengan mempersembahkan ekspresi wajah campuran atara marah dan frustasi. Makin banyak yang ikut menggedor, sehingga akhirnya luluhlah sang penguasa pintu. Pintu dibuka, kami menghambur masuk.

Aku menyelip melewati beberapa orang, yang entah dengan alasan apa, berdiri menyesaki pintu masuk. Berhasil. Aku berjalan mewati wajah-wajah lelah yang bersandar di kursi, akhirnya di ujung ada sebuah kursi kosong. Kursi kosong terakhir di gerbong ini. Aku mendapatkannya dengan riang gembira. Seraya mengungkapkan selebrasi dengan cengar-cengir tak karuan sambil salam kiri kanan.

Salah satu pesaing yag mengejar dibelakangku, cuma mendapati ruang kosong diantara deretan kursi kereta. Saat dia menatap iri padaku, aku mempersembahkan senyum simpati yang lebih-lebih kurasakan sebagai senyum mengejek. Seolah-olah berkata:
"Maaf kawan, dunia memang kejam."
Mas mas tersebut akhirnya terduduk di lantai. Yang lain mengikuti, sehingga penuhlah koridor itu.

Beberapa pemuda yang terlambat, terlihat kebingungan mencari sisa tempat. Mereka berjalan berjingkat-jingkat, akhirnya bergerak ke arah ruang yang boleh diasumsikan sebagai toilet.
"Naah, ini kosong." berkata salah satunya.
"Iya, duduk sini ajalah." berkata yang lainnya. Maka mereka yang sebayak empat orang itu, menguji nyalinya, duduk di dalam toilet.

Kereta akhirnya melaju, setelah semua persaingan yang mengharu biru itu. Udara dingin yang berdesir mengalir dari jendela yang kacanya sudah tidak ada, menerbitkan rasa ngantuk. Kulirik mas mas yang tadi, terbesit sedikit rasa antara bersalah atau iba, sehingga kuberikan kertas koran untuk dijadikannya alas duduk. Dia berterima kasih dan berbasa basi sejenak.

Dengan padatnya penumpang yag bergelimpangan, jangan pernah membayangkan akan sebuah adegan ala before sunrise dalam kereta dari Budapest menuju Vienna dimana Jesse bertemu Celline. Mereka terganggu oleh suara pertengkaran pasangan rumah tangga, sehingga pindah untuk duduk nyaman di ruang makan dan akhirnya menghabiskan malam bersama dengan berjalan-jalan, yang mengubah hidup mereka selamanya. Akupun tertidur dengan potongan adegan tersebut.

Sebagai catatan, karena kereta ini eksklusif, maka setiap stasiun yang dilewatinya akan memintanya berhenti untuk sekedar bertegur sapa. Berhentilah kereta di sebuah stasiun, aku segera terbangun oleh suara orang-orang menjajakan dagangan. Bermacam rupanya, bermacam dagangannya, bermacam warnanya, bermacam juga harganya. Aku terkesima mengamati satu persatu yang lewat. Karena melihat langsung akan ditafsir sebagai menaksir, tak jarang aku hanya melirik dengan sudut mata. Curi-curi pandang.

Mereka lewat dengan caranya masing-masing dan logat masing-masing pula.
nasi rames makan makan: logat bandung
aqua aqua ye: logat bandung
nasi ayam telor: logat batak
tahu tahunya sumedang tahu: logat sumedang
kacang rebus kacang: logat dian sastro aadc
koran mas seribu: logat tegal
selai pisang goring: logat jawa
kopi susu pop mie kopi susu: logat indramayu
yang garut oleh-oleh garut: logat garut pastinya
rokok tisu basah: logat jakarte
sol patuk: logat cimahi
salak pondoh salak pondoh: logat jawa

Suasana ini, aku menyebutnya dengan istilah kerakyatan. Beragam suku bangsanya, beragam warna kulitnya, beragam suaranya, beragam idenya, semua bergabung menjadi satu. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Karena rasanya hanya rakyat yang berada di sini, tidak ada pejabat.

Sistem perdagangan ini, aku menyebutnya dengan sistem politik dagang salak dalam karung. Adalah, penjual salak membawa sekarung penuh salak. Lalu mulai menjual dengan harga 10 ribu sekilo di awal gerbong. Beberapa orang membelinya. Lalu ditengah2 mendadak harganya turun menjadi 5 ribu sekilo, beberapa orang lain membelinya. Lalu di ujung gerbong sampailah harganya pada kisaran 5 ribu sekarung. Sungguh, sistem dagang yang amat sangat spektakuler, sensional, brilliant, two thumbs up. Salak dalam karung. Terbayang olehku, pembeli awal salak tersebut sedang meratapi takdirnya karena duduk di ujung depan. Terbesit juga pikiran bahwa sang penjual hanya berjualan sebagai wujud aktualisasi diri.

Selang beberapa waktu yang berlalu, akhirnya ada petugas yang bertugas memeriksa karcis. Menanyai satu persatu karcis penumpang. Kuberikan karcisku untuk diperiksa, selesai sekejap kemudian. Lalu pak petugas beranjak ke orang sebelahku, orang tersebut merogoh kantongnya untuk mengambil sesuatu, lalu berjabat tangan dengan petugas karcis seperti bertemu teman lama yang akrab. Setelah itu, petugas karcis langsung ikut merogoh kantong untuk menaruh sesuatu. Apakah gerangan sesuatu itu, masih menjadi pertanyaan besar bagiku. Yang jelas, semua terjadi dalam gerakan yang sangat harmonis, sinergis. Praktis aku terpana seolah menatap keteraturan alam semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun