Saat aku mendengar cerita tentang teman Ibu yang kecewa waktu di Singapura, aku jadi ingat kisah kami pada waktu berkunjung ke sana.Â
Jika kecewanya teman Ibu yang tak bisa berfoto dengan patung singa karena sedang renovasi, aku justru pernah bahagia sekaligus malu saat di tempat itu. Mengapa? Bahagia karena menemukan apa yang aku cari, malu karena kurang teliti. Yuk ikuti ceritaku!Â
Agustus 2023 lalu, aku dan rombongan ke Singapura dan Malaysia. Kami menuju YIA menggunakan kereta bandara dini hari karena pesawat kami di pagi hari.Â
Setelah tiba di Changi Airport, kami dijemput oleh tour guide yang waktu itu seorang perempuan yang bisa Bahasa Indonesia dan driver bus kami yang berkebangsaan India.Â
Kami menuju Jewel Changi yaitu air terjun buatan yang terletak di Changi Airport, tapi kami menuju tempat itu menggunakan bus.Â
Di tempat itu kami temui pusat perbelanjaan, yang tidak hanya satu lantai, seperti mall. Di bus, sang tour guide bercerita bahwa warga Singapura jarang ada yang membawa sepeda motor, karena jika memakainya, maksimal adalah dua orang, jika lebih, harus memakai mobil. Jadi kebanyakan yang memakai sepeda motor adalah  pengantar makanan seperti driver online di Indonesia.Â
Sepanjang jalan, kebersihan selalu ku nikmati. Kami melewati jalan di bawah laut, kami masuk ke sebuah lorong selama beberapa kilometer panjangnya menuju Universal Studio Singapore.Â
Di sana kami membuat video dan berfoto di depan lambang dari tempat tersebut. Harus antri memang. Panas sekali cuaca saat itu dan kami harus berjalan keliling dengan sengatan matahari.Â
Lalu kami menuju ke toko oleh-oleh yaitu kaos, gantungan kunci, tas dll di sebelah resto yang kami singgahi. Kami makan makanan yang menurut kami masih asing di lidah.Â
Sebagian besar adalah dengan kuah kari, kari ayam dan mie goreng tapi terasa sekali rempahnya seperti mie Aceh dan menu lainnya.Â
Kemudian kami berkunjung ke Gardens by The Bay, sebuah taman yang di dalamnya terdapat supertrees yang sangat indah jika mengunjunginya malam hari, karena di pohon itu diberi lampu, sayang kami berkunjung saat siang hari.Â
Tapi kami tak sempat keliling lebih dari satu kilometer, karena dibatasi waktu, hanya jalan sebentar lalu berfoto dan beristirahat sejenak.Â
Lalu kami menuju tempat yang sudah ditunggu, pastinya tempat untuk berfoto pengunjung yang bagi sebagian orang wajib ke tempat itu, walau sebenarnya di Surabaya juga ada, hanya tiruan dan bukan di negara asal.
Aku juga pernah foto waktu di Surabaya, tapi kini benar nyata, bukan tiruan. Hanya berfoto saja harus antri, karena semua pengunjung ingin mengabadikan di depan patung singa yang disebut Merlion, yang menjadi bukti bahwa pengunjung benar di sana.Â
Sebelum kami kembali ke bus, acara masih bebas dan waktu itu aku ke toilet yang antrinya sekitar lima menit. Saat di dalam toilet, aku meletakkan ponsel di atasku yang tidak terlihat olehku agar tidak jatuh atau basah, bukan aku taruh dalam tas, itu salahku.Â
Dengan percaya diri aku menuju bus dengan santai dan semua teman sudah masuk ke dalam bus. Aku hendak membuka ponsel untuk cek pesan sebelum bus berangkat. Aku mencari ponselku ke beberapa kantong dan tasku, tak ada dan aku ingat bahwa tadi ku letakkan di toilet dan sepertinya tertinggal.Â
Aku izin ke tour leader untuk mengeceknya sambil berlari. Di dekat patung singa, ternyata tour leader yang satu masih di sana dan aku izin ke toilet. Aku masuk toilet, sepi, hanya penjaga toilet yaitu seorang perempuan dari India.Â
Aku bingung gimana bicaranya, tapi aku coba meminta izin sebisaku untuk mengecek ponsel. Dan, aku bersyukur, ponsel masih di tempat yang sama. Aku pikir sudah hilang. Sambil menuju bus, aku cerita ke tour leader yang menungguku di dekat toilet itu lalu Beliau cerita bahwa di Singapura, sifat dari orangnya seperti itu, tidak mengambil yang bukan miliknya.Â
Luar biasa. Aku masuk bus dan tour leader satunya bertanya tentang ponselku dan aku ceritakan semua. Senangnya ternyata tour leadernya baik dan peduli. Aku jadi tak enak, hanya menuggu aku naik dan bus langsung berangkat.Â
Setelah itu kami menuju Orchad Road, seperti Malioboronya Yogyakarta, ya, suatu pusat perbelanjaan. Di tempat itu banyak pejalan kaki yang biasanya menuju ke toko es krim Singapura. Aku tak mencoba, karena antrinya sangatlah banyak dan aku memilih masuk ke sebuah mall dan juga minimarket.Â
Saat di mall, aku membeli minuman teh yang aku belum pernah tahu namanya, aku mencobanya. Rasanya aneh menurutku dan tawar. Aku lupa nama teh itu. Aku membeli karena nama asing saja, ternyata rasanya biasa.Â
Lanjut aku ke minimarket dan membeli teh tarik instan dengan cup agar tinggal menyeduhnya di hotel nanti dengan beberapa merk agar tahu bedanya. Sudah selesai jalan-jalan di Singapura, kami berganti menuju Malaysia.Â
Kami akan menginap di Johor Bahru, tapi sebelumnya kami makan malam di sebuah warung makan di mana makanan dan minuman diantar oleh pelayan. Kami minum jus semangka dan makanan Indonesia campur makanan khas Thailand, terutama Tom Yum.Â
Kami akan  menginap di luar Singapura, sehingga lewat imigrasi di jalur darat karena menggunakan bus. Di bus, tour guide sudah memberi info agar kami taat arahan supaya tidak terpisah, karena biasanya terpisah begitu.Â
Di imigrasi tersebut, tidak semua barang dicek petugas. Teman di depan kami lolos tanpa cek, sedangkan kami dicek dan depan kami sudah hilang tanpa tahu ke mana mereka pergi. Kami berenam kehilangan arah lalu tanya petugas.Â
Setelah mengikuti petugas, kami salah dan masih terpisah. Kami telepon tour leader dan kami diminta masuk lagi, mengulang langkah dari awal lalu berganti arah.Â
Di saat genting seperti itu, ada seorang petugas tidak berseragam mengetahui bahwa kami bingung dan membantu kami masuk tanpa harus cek ulang, jadi kami mengikuti Beliau lewat jalur khusus. Akhirnya kami bisa berkumpul dengan tour leader dan teman lain.Â
Kami menuju hotel dan istirahat. Pagi harinya, aku membuka jendela kamar, aku kaget, baru ini, sudah jam 07.00 waktu setempat tapi masih sangat gelap, kalau di Indonesia mungkin masih pukul 04.00. Kami sarapan di hotel dengan menu khas Malaysia seperti bubur Malaysia dengan rasa yang agak aneh di lidah, mie rempah seperti sebelumnya di Singapura dan roti bakar.Â
Kami hendak menuju Kuala Lumpur dengan jalur darat. Selama dalam perjalanan, aku sedikit tertawa melihat beberapa nama jalan atau nama tempat yang unik. Kadang aku bertanya dalam hati, apa arti dari nama tempat itu.Â
Perjalanan ke ibu kota memakan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Kami menuju ke Istana Negara Malaysia. Di sana, kami tak boleh masuk, hanya bisa berfoto di dekat gerbang saja.Â
Ada penjaga dan ada kuda yang dinaiki penjaga, tapi kami tak boleh menyentuh kuda. Ada juga jalan kecil, yang ternyata jalur kuda dan kami tak boleh lewat jalan itu.Â
Kami menuju ibu kota dengan melewati perkebunan sawit sepanjang jalan, dan kalau di Indonesia mungkin seperti jalan tol.Â
Kami tiba di Melaka, di mana terdapat sebuah gereja di sana. Kami sempat masuk dan berfoto di luarnya. Lalu kami mampir di toko serba cokelat.Â
Kami hendak ke toilet, sambil tanya ke tour guide. Beliau memberi info lokasi toilet yang agak sembunyi dan tak ada petugas, jadi kami harus jujur untuk meninggalkan uang di meja tersedia sesuai jumlah yang tertulis di sana. Seperti toilet kejujuran begitu.Â
Ada juga becak hias di sana. Lokasinya di sebelah sungai, di mana banyak penjual yang berjualan di tepi sungai, salah satunya adalah bar. Di tepi jalan, ada toko pakaian, minimarket dan toko barang kuno.Â
Jika ada yang butuh toilet saat perjalanan, bus mampir ke toilet pinggir jalan di mana depannya pedagang berjualan menu yang sama, yaitu camilan, asinan buah, es teh dll.Â
Kami lanjutkan perjalanan dan makan siang di rumah makan yang menjual makanan Indonesia. Lalu kami ke pabrik cokelat yang menjual produk di showroomnya.Â
Harganya lumayan mahal, jadi kami beli dalam jumlah sedikit atau patungan dengan teman agar mendapat diskon, karena diskon diberikan dengan minimal pembelian.Â
Harga yang ditempel juga membuat kami bingung dan salah mengartikan. Tak sedikit pembeli yang mengembalikan barang yang sudah diambil karena terlalu mahal, mengingat mereka tak paham dengan tulisan yang ditempel itu, termasuk aku. Tapi aku kembalikan sebelum sampai kasir, karena tour leader memberitahu kami.Â
Kami mengunjungi Dataran Merdeka, di mana kami berfoto di depan perpustakaan, di depan gereja dan di spot foto yang disediakan di sana. Kami berjalan di sebuah lapangan, kami tidak tahu jika ada penyiram tanaman otomatis, sehingga saat air itu keluar, kami basah kuyup.Â
Malamnya, kami makan malam di resto Indonesia dan pegawainya juga orang Indonesia, sehingga kami banyak cerita. Selain makanan berat, di sana juga memberikan makanan gratis yang tidak wajib diambil, bubur sumsum dan bubur lainnya, sedap sekali dan bisa nambah.Â
Setelah itu kami istirahat di hotel. Pagi harinya kami sarapan di hotel dengan menu yang sama, yaitu makanan khas Malaysia, yang membuat beda adalah ditambah salad sayurnya yang rasanya lumayan enak. Lalu kami tiba di Menara Kembar Petronas untuk berfoto.Â
Di sana ada beberapa tukang foto berbayar yang nantinya foto akan dikirim dalam bentuk file dan beberapa dicetak, tergantung paket yang dipilih.Â
Kami sebenarnya ingin ke toilet, tapi tour leader memberi info bahwa jika ke toilet harus masuk ke pusat perbelanjaan yang ada di lantai atas, kami putuskan untuk masuk bus karena belum membutuhkan toilet.Â
Setelah itu kami makan siang di sebuah restoran chinese food. Lalu kami menuju ke Batu Caves, sebuah kuil Hindu yang terdapat patung tinggi dan ada beberapa tangga warna-warni, tapi tidak semua naik karena dibatasi waktu.Â
Beberapa burung juga berjalan di halaman kuil. Aku mencoba teh rempah khas tetapi rasanya agak aneh, maklum, namanya asing jadi rasa ingin mencoba sangat besar.Â
Setelah itu kami ke Genting Highlands. Yang pertama kami lakukan adalah naik kereta gantung, tapi tidak semua, karena ada yang takut sehingga menunggu di area tunggu atau berbelanja di pusat perbelanjaan di situ.Â
Setelah naik kereta sampai ujung, kami turun dan melihat pemandangan yang luar biasa dari atas, kami berfoto dan menikmati dinginnya udara. Di sana juga ada resto yang juga ramai pengunjung.Â
Lalu kembali naik kereta gantung menuju titik awal. Kami di pusat perbelanjaan sambil menunggu teman lain yang masih naik kereta gantung. Di minimarket, aku melihat teh tarik yang siap seduh, hanya beda merk dengan yang ku beli sebelumnya dan ku tinggal di hotel. Ibu menawariku untuk beli satu lagi, tapi aku menolak karena yang sebelumnya belum ku buat.Â
Kami mampir ke toko oleh-oleh dengan bus. Produk yang utama adalah kopi tarik yang rasanya memang enak di lidah. Kami diberikan sampel kopi tarik dan teh tarik.Â
Beberapa camilan juga tersedia. Hampir tiap produk ada sampelnya, jadi kami bisa tahu rasanya seperti apa. Sudah jam tujuh malam pun, masih cerah seperti sore hari.Â
Kami makan malam di resto khas Thailand, di mana ada tom yum sup dan teman-temannya. Lagi, petugasnya juga orang Indonesia yang berbagi cerita ke kami. Dan selama di Malaysia, semua menu pasti ada telur dadar. Permintaankah? Itu yang jadi pertanyaanku.Â
Sebelum ke hotel, kami mampir ke sebuah pasar malam untuk beli tas, gantungan kunci, kaos sebagai oleh-oleh. Aku sempat beli tas yang dijual oleh orang India. Aku tawar, ternyata bisa. Lumayan sekali, penjualnya terbatas, tapi bisa ditawar. Di tempat lain, penjualnya banyak, tapi tidak bisa ditawar.Â
Sampailah kami di hotel, satu hal yang membuatku kaget. Teh tarik siap seduh yang ku taruh di meja rias hilang, sudah ku cari ke mana-mana tak ada. Benar Ibu, harusnya aku membeli satu lagi. Apakah diambil petugas? Ya sudah, aku ikhlaskan saja, walau tidak ada di Indonesia.Â
Esoknya kami harus ke bandara dini hari, sehingga sarapan di hotel belum siap dan kami diberikan sarapan dua bungkus roti. Kami pulang ke Indonesia. Begitulah ceritaku kala itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H