Aku seorang penjual bunga, karena aku sangat cinta bunga, itulah awal aku membuka usahaku ini. Semula dilayani beberapa karyawan, tapi karena semakin sepi, aku melayani pembeli sendiri. Aku melakukannya dengan nyata, tanpa adanya bantuan makhluk gaib yang mungkin dipakai beberapa penjual yang licik. Yang begitu tidak abadi kan? Karena memang tak ada yang abadi, begitu juga dengan Kakakku tersayang yang kini tak di sisi, meninggal di rumah sunyi yang kini menjadi penghuni.
Ia ditemani dua sosok pria dan wanita yang semasa hidupnya adalah sepasang kekasih yang bunuh diri karena tak direstui orang tua pihak wanita. Cinta pertama telah menyatukan mereka sampai maut pun masih bersatu. Mengapa tak bisa ke atas dan malah di rumah itu? Karena mereka masih mempunyai kebencian. Pada siapa? Orang tua? Bukan, tapi pada pasangan kekasih yang berbahagia karena hubungan mereka direstui orang tua.
Mereka iri, dari hidup sampai mati. Kakakku adalah korban dari mereka berdua, karena iri bahwa Kakakku akan segera menikah dengan kekasihnya dan hubungan mereka direstui. Kakakku adalah sahabat dari si hantu pria, di mana sahabatnya yang bernama Tonny tidak rela sahabatnya bahagia. Mereka sudah berjanji dalam persahabatan, di mana jika satu bahagia, bahagia semua, jika satu menderita, maka menderita semua.
Tapi yang terjadi, Kak Bara, kakakku ingkar janji. Kak Bara memilih akan menikah dengan kekasihnya, padahal sudah tahu sahabatnya tidak akan menikah dengan kekasihnya. Iri hati itu membuat Tonny tak rela jika Kak Bara hidup bahagia, yang satu berduka, satunya juga ikut berduka. Satunya mati, maka yang satu juga harus mati.
Karena Tonny tak bisa bahagia dan menikah dengan kekasihnya, mereka mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri bersama. Bagi Tonny, Sinta kekasihnya adalah cinta pertama, begitu juga dengan Sinta, Tonny adalah cinta pertama yang inginnya menjadi cinta terakhir di dunia manusia, tapi malah menjadi cinta terakhir di dunia gaib.
Sayang sekali, karena cinta, membuat mereka mengakhiri hidup dengan cara mengenaskan, bersama. Â Apakah itu? Mereka masuk rumah kosong. Mereka menyiramkan bensin di tubuh mereka dan bakar diri. Mengapa harus dengan cara seperti itu ya? Karena terbakar asmara, cinta pertama membuat mereka ingin terbakar api.
Sayang sekali, seperti rasa sayang mereka yang tak bisa diganggu atau dipisahkan oleh apapun, rela menghabisi nyawa mereka sendiri karena hubungan mereka yang ditentang oleh orang tua. Makanya, sampai saat ini arwahnya tak tenang, karena rasa benci mereka pada orang lain yang bahagia, yaitu pasangan-pasangan yang lanjut ke jenjang pernikahan karena restu.
Kakakku yang menurut mereka salah, tapi menurutku tak salah, karena semua orang berhak bahagia. Takdir manusia satu dengan lainnya berbeda. Mengapa harus Kakakku? Karena sahabat? Atau karena janji? Atau karena janji sahabat? Kakakku terkurung di rumah itu, belum bisa bebas. Siapa yang bisa melepaskan Kakakku?
Aku melamun, aku terdiam dan berpikir gimana cara menyelamatkan Kakakku. Aku selalu dihantui kakakku yang selalu minta tolong padaku. Aku bingung, harus minta tolong pada siapa. "Mbak, beli bunga mawar merahnya lima tangkai ya, bungkus jadikan satu, tambahkan beberapa bunga putih yang kecil itu, aku nggak tahu namanya. Yang itu ya!" kata seorang pembeli sambil menunjuk bunga putih itu.
Aku masih melamun dan diam. Pembeli itu berdiri di sebelahku sambil menepuk pundakku, "Mbak, kok melamun? Ada masalah apa? Saya mau beli bunga." "Maaf Mas, saya sedang tidak fokus. Saya sedang ada masalah, sedang bingung ini, dihantui kakak saya terus yang sudah meninggal. Beliau minta tolong agar terlepas dari jerat dua hantu yang sekarang menyekapnya.
Hantu pria itu sahabat Kakak sewaktu masih hidup, tapi membenci Kakak karena Kakak bahagia akan menikah dengan kekasihnya dengan restu. Sedangkan hantu pria dan kekasihnya tak bisa menikah karena tidak direstui. Aku nggak tahu caranya gimana Mas?" tanyaku sambil mengulurkan bunga permintaan pembeli itu.
Pembeli itu tersenyun kecil padaku, "Tenang, semoga aku bisa bantu, bawa aku ke tempat di mana kakakmu disekap!" Aku tersenyum mendengarnya. "Bunga ini gratis Mas, karena Kau membantuku, aku ikhlas," pintaku. "Tidak, justru aku ikhlas membantu, jadi uang ini untuk bunga ini, terimalah!
Tokomu sepi kan? Tiap hari aku lewat sini, jadi aku tahu, selalu memperhatikan. Toko seberang selalu ramai, tapi tidak secara halal, ada bantuan makhluk gaib di sana dan menutup pandangan orang yang lewat, supaya tak bisa melihat tokomu. Licik memang. Jahat ya. Ambil uang ini! Aku tak kan membantu jika Kau tak mengambil. Siapa namamu?" tanyanya sambil meninggalkan uang di mejaku.
"Aku Nia Mas, Mas siapa? Terima kasih ya," jawabku. "Aku Ibnu, aku bisa melihat makhluk gaib, jadi akan ku bantu," jelasnya. "Bunga itu untuk siapa Mas? Takutnya nanti layu kalau terlalu lama," tanyaku. Mas Ibnu tersenyum, "Untuk seorang wanita yang sudah meninggal, namanya Sinta, Ia sangat suka bunga ini, dulu aku selalu memberinya, tapi tak pernah sudi Ia terima.
Aku terus mencoba sampai Ia menerima. Aku tak pernah tahu Ia di mana, tapi saat aku melihatmu beberapa bulan lalu, aku yakin, Kau tahu Ia di mana. Nah, aku yakin Sinta yang Kau maksud adalah hantu perempuan itu, yang menyekap kakakmu. Ayo!" "Iya, semoga Sinta yang sama," kataku sambil masuk ke mobil Mas Ibnu.
Aku penasaran dan bertanya, "Ma...maaf Mas, Sinta itu siapa? Kok nggak pernah mau terima bunga? Mas ada salah?" Mas Ibnu menggeleng, "Sebenarnya tidak. Sayang tak pernah salah kan? Mungkin waktu tak tepat, di saat Ia sudah memilih pria lain sebagai kekasih, aku dijodohkan padanya dan aku terlanjur sayang.
Ia cinta pertamaku, tapi Ia telah memilih cinta pertamanya, yaitu Tonny. Aku berusaha membuat Ia nyaman, dengan memberi bunga kesukaan, yang pernah diceritakan orang tuanya. Tapi selalu menolak atau membuangnya di depan mataku, sakit tapi tak berdarah. Aku berusaha membuatnya bahagia, tapi selalu menolakku dan marah padaku.
Aku tak pernah dendam, aku terima saja dengan ikhlas. Siapa tahu Ia berubah, tapi mereka bunuh diri." Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, aku mengarah ke depan dan kedua hantu itu datang, Tonny dan Sinta. Aku sangat ketakutan. Mereka sepertinya tahu maksud kami. Sinta melayang ke kaca mobil melihat kami.
Ia merangkak dan tiba-tiba masuk mobil, duduk di belakang kami. Ia mencekik Mas Ibnu, lalu aku memberikan bunga itu ke Sinta, "Jangan Sinta! Mas Ibnu sayang padamu dan tolong terima bunga ini! Lepaskan!" Sinta hanya melirik bunga itu, "Aku tak sudi terima bunga itu dari orang yang tak pernah ku cintai. Kalian mau membebaskan Bara kan? Tak kan ku biarkan."
Aku melihat Tonny, lalu aku keluar. "Tonny, tolong bebaskan kak Bara! Maafkan!" pintaku sambil menyembahnya. Tiba-tiba mobil Mas Ibnu terbakar dan mereka masih di dalam. Tidak, Mas Ibnu pasti akan hangus terbakar hidup-hidup. Aku menangis kecil, siapa penolongku? Aku menelan ludah.
"Aku yang akan menolongmu. Bangun! Jangan menyembah selain pada Tuhan!" perintah Tonny. Aku terpana, Tonny menolongku? "Tidak," kata Sinta. "Biarkan Bara pergi dan jangan bunuh Nia! Seharusnya kita tak begini Sinta. Dendam dan kebencian itu tak ada gunanya, tak akan membuat kita direstui orang tua. Toh kita sudah tiada. Ibnu begitu mecintaimu dan sampai berkorban nyawa demi membantu Bara.Â
Aku luluh atas apa yang dilakukan Ibnu padamu, Kau tak pernah cerita padaku? Tolak Ia secara halus, jangan begitu! Maafkan Ibnu dan Bara! Jika Kau mencintaiku dan masih ingin bersamaku serta ingin ke atas. Aku sudah melepaskan Bara, tinggal Kau yang belum melepas dendam dan marahmu. Aku pergi," jelas Tonny.
Sinta mengejar Tonny, "Tunggu sayang! Aku jahat, aku akan tetap bersamamu. Maaf Nia, maaf Bara. Kini Kau lolos Bara. Aku janji tak kan dendam dan marah lagi sama siapapun, tak hanya pasangan yang akan menikah dengan restu. Selamat tinggal." Kak Bara berkata sambil melambaikan tangan pada mereka, "Aku maafkan. Terima kasih." "Terima kasih," sahutku. Â Mereka hilang, tapi ada jejak. "Jejak siapa Kak?" tanyaku.
Kak Bara melihat ke arah jam dua belas dan berkata, "Itu." Mas Ibnu menjadi hantu. Semua tubuhnya hangus terbakar dan langkahnya meninggalkan jejak. Aku lari karena ketakutan. "Aku ingin Kau mengikuti jejak duniaku, kalau tak mau, akan ku paksa," kata Mas Ibnu. Aku lari, tapi malah sebuah truk menghadangku hingga aku ikut jejak dunia gaib. Kini jadi dunia Nia dan Ibnu.
Yovita Nurdiana. Seseorang yang berdomisili di Yogyakarta dan memiliki nama pena Akhaya Noory yang berharap menjadi cahaya seperti nama asli dan nama pena nya. Pencinta warna hijau yang selalu ingin menyejukkan para pembaca. Memiliki hobi membaca sambil mendengar lagu kesukaan, tapi juga ingin tulisannya dikenang oleh orang-orang yang haus akan kata-kata yang menenangkan. Penulis bisa dihubungi melalui yovita.nurdiana@gmail.com atau ig @yovie_angel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H