Hantu pria itu sahabat Kakak sewaktu masih hidup, tapi membenci Kakak karena Kakak bahagia akan menikah dengan kekasihnya dengan restu. Sedangkan hantu pria dan kekasihnya tak bisa menikah karena tidak direstui. Aku nggak tahu caranya gimana Mas?" tanyaku sambil mengulurkan bunga permintaan pembeli itu.
Pembeli itu tersenyun kecil padaku, "Tenang, semoga aku bisa bantu, bawa aku ke tempat di mana kakakmu disekap!" Aku tersenyum mendengarnya. "Bunga ini gratis Mas, karena Kau membantuku, aku ikhlas," pintaku. "Tidak, justru aku ikhlas membantu, jadi uang ini untuk bunga ini, terimalah!
Tokomu sepi kan? Tiap hari aku lewat sini, jadi aku tahu, selalu memperhatikan. Toko seberang selalu ramai, tapi tidak secara halal, ada bantuan makhluk gaib di sana dan menutup pandangan orang yang lewat, supaya tak bisa melihat tokomu. Licik memang. Jahat ya. Ambil uang ini! Aku tak kan membantu jika Kau tak mengambil. Siapa namamu?" tanyanya sambil meninggalkan uang di mejaku.
"Aku Nia Mas, Mas siapa? Terima kasih ya," jawabku. "Aku Ibnu, aku bisa melihat makhluk gaib, jadi akan ku bantu," jelasnya. "Bunga itu untuk siapa Mas? Takutnya nanti layu kalau terlalu lama," tanyaku. Mas Ibnu tersenyum, "Untuk seorang wanita yang sudah meninggal, namanya Sinta, Ia sangat suka bunga ini, dulu aku selalu memberinya, tapi tak pernah sudi Ia terima.
Aku terus mencoba sampai Ia menerima. Aku tak pernah tahu Ia di mana, tapi saat aku melihatmu beberapa bulan lalu, aku yakin, Kau tahu Ia di mana. Nah, aku yakin Sinta yang Kau maksud adalah hantu perempuan itu, yang menyekap kakakmu. Ayo!" "Iya, semoga Sinta yang sama," kataku sambil masuk ke mobil Mas Ibnu.
Aku penasaran dan bertanya, "Ma...maaf Mas, Sinta itu siapa? Kok nggak pernah mau terima bunga? Mas ada salah?" Mas Ibnu menggeleng, "Sebenarnya tidak. Sayang tak pernah salah kan? Mungkin waktu tak tepat, di saat Ia sudah memilih pria lain sebagai kekasih, aku dijodohkan padanya dan aku terlanjur sayang.
Ia cinta pertamaku, tapi Ia telah memilih cinta pertamanya, yaitu Tonny. Aku berusaha membuat Ia nyaman, dengan memberi bunga kesukaan, yang pernah diceritakan orang tuanya. Tapi selalu menolak atau membuangnya di depan mataku, sakit tapi tak berdarah. Aku berusaha membuatnya bahagia, tapi selalu menolakku dan marah padaku.
Aku tak pernah dendam, aku terima saja dengan ikhlas. Siapa tahu Ia berubah, tapi mereka bunuh diri." Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, aku mengarah ke depan dan kedua hantu itu datang, Tonny dan Sinta. Aku sangat ketakutan. Mereka sepertinya tahu maksud kami. Sinta melayang ke kaca mobil melihat kami.
Ia merangkak dan tiba-tiba masuk mobil, duduk di belakang kami. Ia mencekik Mas Ibnu, lalu aku memberikan bunga itu ke Sinta, "Jangan Sinta! Mas Ibnu sayang padamu dan tolong terima bunga ini! Lepaskan!" Sinta hanya melirik bunga itu, "Aku tak sudi terima bunga itu dari orang yang tak pernah ku cintai. Kalian mau membebaskan Bara kan? Tak kan ku biarkan."
Aku melihat Tonny, lalu aku keluar. "Tonny, tolong bebaskan kak Bara! Maafkan!" pintaku sambil menyembahnya. Tiba-tiba mobil Mas Ibnu terbakar dan mereka masih di dalam. Tidak, Mas Ibnu pasti akan hangus terbakar hidup-hidup. Aku menangis kecil, siapa penolongku? Aku menelan ludah.
"Aku yang akan menolongmu. Bangun! Jangan menyembah selain pada Tuhan!" perintah Tonny. Aku terpana, Tonny menolongku? "Tidak," kata Sinta. "Biarkan Bara pergi dan jangan bunuh Nia! Seharusnya kita tak begini Sinta. Dendam dan kebencian itu tak ada gunanya, tak akan membuat kita direstui orang tua. Toh kita sudah tiada. Ibnu begitu mecintaimu dan sampai berkorban nyawa demi membantu Bara.Â