Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Desa Zombie, Membawamu Sampai Mati

11 Agustus 2024   09:25 Diperbarui: 11 Agustus 2024   09:28 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi zombie mengancam (sumber gambar : fanpop.com)

Aku sedang mencari seorang pria yang aku sayangi. Ia terjebak di sebuah desa yang penuh dengan zombie. Aku rela melakukan apapun demi bisa menyelamatkan nyawanya, meskipun harus sendirian, karena kakakku, Mahesa, terpisah denganku saat kami menuju rumah itu. Aku tak tahu Kak Mahesa masih hidup atau tidak, begitu juga dengan Dewa, aku tak pernah tahu nasibnya sebelum aku berhasil masuk rumah itu.

Aku berjalan menuju pintu berwarna cokelat tua, mengendap-endap seperti maling. Tiba-tiba seseorang dari belakang menepuk bahuku, aku berbalik. "Kak Mahesa. Aku pikir Kakak sudah..." kataku yang tak selesai sambil memeluk kakakku. Aku sungguh bahagia melihat kakak masih hidup, hanya luka lecet di beberapa tangannya, semoga tak ada luka di bagian lain yang parah yang disembunyikan, aku takut gigitan itu akan membuat kakakku menjadi zombie dan meninggalkan dunia manusia lalu lupa siapa kami.

Karena aku ragu dan khawatir, aku pun bertanya supaya benar-benar lega, "Kak Mahesa nggak papa kan? Nggak ada luka lain selain tangan? Nggak ada gigitan kan? Aman kan?" Kak Mahesa mengangguk sambil memegang pipiku. "Tenang adikku! Aku baik-baik saja kok. Tak ada luka serius atau gigitan, hanya tangan ini yang lecet. Kamu nggak usah khawatir ya!" pinta Kak Mahesa.

Kami masuk sangat pelan. Aku membuka pintu pelan dan memeriksa sekitar, "Aman Kak, pelan saja!" Kakak mengangguk. Tiba-tiba kami diserang dari luar rumah, beberapa zombie menyerbu. Kami hanya berdua, tapi kami harus yakin bisa mengalahkan mereka, saling menjaga satu sama lain. Aku nggak mau pisah sama kakakku lagi, cukup.

Dari arah berlawanan aku melihat Dewa, bersama seorang perempuan di belakangnya menuju kami. Siapa perempuan itu? Orang jahatkah? Atau baik? Atau malah zombie? "Dewa, kamu baik-baik aja kan?" tanyaku sambil memeluknya. "Aku tidak apa-apa Rara," jawabnya sambil melepaskan pelukan. Aku melirik perempuan yang bersama Dewa, "Siapa Wa? Bukan zombie kan?" "Dia Nawa, tadi aku ditolongnya, tapi kakinya terluka, makanya jalannya sangat pelan dan sedikit terseret, mungkin nanti aku harus menggendongnya," jawab Dewa sambil melirik Nawa.

Aku merasa sedikit cemburu atas kedekatan mereka, apalagi, Nawa telah menolong Dewa, aku terlambat. Dan aku masih takut, kalau Nawa adalah zombie yang menyamar manusia. Kak Mahesa mengelus bahuku, berusaha membuatku tenang. Kami keluar mencari tempat singgah yang agak jauh. Di sepanjang jalan aku lebih banyak diam, berbeda dari biasanya. Dewa sibuk sendiri, hingga tak sadar aku diam dan tak pernah mengajakku bicara, sibuk dengan Nawa. Aku pun juga enggan bicara dengan kakakku.

Kakakku dan aku berjalan di belakang Nawa dan Dewa, sambil mengamati dan mendengarkan pembicaraan mereka. Aku selalu berpikir negatif pada Nawa. Oh tidak, aku tidak boleh begitu, Kak Mahesa pernah melarangku berpikir negatif, tiba-tiba aku ingat. Maafkan. Aku harus berubah, menjadi berpikir positif, untung ada Kak Mahesa di sampingku, jadi aku ingat.

Baca juga: Jangan Tengok!

Kami menemukan sebuah rumah, sepi. "Hati-hati Dewa, cek dulu! Takut ada zombie," pinta Kak Mahesa. Dewa berjalan pelan. Kami mengikuti di belakang. Dewa mengetuk pintu perlahan, tak ada jawaban. Ketuk pintu kedua kali, masih tak ada jawaban. Aku mendekat, mengetuk pintu yang ketiga, tiba-tiba pintu terbuka. Aku mundur, Dewa menatapku. Seorang Ibu membuka pintu, "Siapa kalian? Ada perlu apa?"

Dewa mendekat, "Kami butuh bantuan Bu, ada yang terluka, kami hanya butuh istirahat sambil mengobati luka, besok pagi kami akan pergi. Kami butuh tempat sembunyi sementara. Boleh?" Ibu mengangguk, "Silahkan masuk! Maaf, rumah Ibu sempit." "Tidak apa Bu. Yang penting kami dibantu," kataku. Dewa membawa Nawa ke kamar, untuk mengobati luka di kaki Nawa.

Aku mengintip dari balik korden di kamar. Aku cemburu, tapi gimana lagi?  Aku ke dapur, membantu Ibu menyiapkan minuman. Oh iya, namanya Bu Asih, seorang janda yang ditinggal suaminya karena sakit, lima tahun lalu. Beliau banyak cerita padaku, terutama tentang kerinduan pada anak semata wayang, yang sampai saat ini belum kembali, karena tugas luar kota sebagai tentara. Mungkin di minggu ini putranya kembali.

Aku mencari Kak Mahesa, Beliau ada di kamar bersama Nawa, tapi aku tak melihat Dewa. Ada apa? Kok mereka tiba-tiba akur? Aku ingin memanggil Kak Mahesa, tapi takut mengganggu. Mereka membelakangiku. Aku hendak berbalik, tiba-tiba ada suara menyeramkan dari kamar itu. Saat aku berbalik, sebuah tangan memegang bahuku, aku melirik, tangan itu penuh darah. Aku menelan ludah.

Aku menengok belakang, ternyata Kak Mahesa, tidak. Ia ingin menggigitku, tidak, jangan. Aku ingin lari tapi belum bisa. Lalu Nawa menarik Kak Mahesa dan mereka terjatuh. "Lari! Jangan pedulikan aku! Rara, pergi!" perintah Nawa. Aku menangis, tak pernah terbayangkan ternyata bukan Nawa, tapi kakakku sendiri yang menjadi zombie. Aku mencari bantuan, mencari Dewa dan Bu Asih. Sepi, tak ada siapapun, mereka di mana? Aku khawatir mereka sudah menjadi zombie dan mencari mangsa.

Tidak, aku tidak begitu, tak boleh berpikiran negatif. Terbukti, aku salah, aku pikir zombie itu Nawa, ternyata Kak Mahesa. Ini aku malah berpikir negatif lagi, nggak boleh. Aku harus berusaha mencari mereka, apapun resikonya, aku harus berjuang, kalau tidak berusaha aku tak akan pernah tahu. Aku harus bisa menghadapi semuanya sendiri, untuk sementara ini. Aku keliling dalam rumah, belum menemukan mereka. Aku mengintip halaman rumah dari balik korden jendela. Tak ada siapapun.

Aku melihat Bu Asih di bawah pohon, aku memanggilnya, "Bu, ada apa? Mana Dewa?" Ibu Asih berbalik dan berkata, "Dewa sedang cari bantuan Ra, ayo pergi! Kakakmu sudah menjadi zombie, Nawa di dalam kan? Pasti juga akan menjadi zombie." Aku melihat rumah Bu Asih, tak ada tanda-tanda kemunculan Kak Mahesa dan Nawa. Bu Asih mengajak pergi secepatnya. Aku hanya diam, nggak mau meninggalkan Kak Mahesa. "Ayo Ra! Kita harus pergi, tunggu apa lagi?" tanya Bu Asih sambil menarikku. Aku tetap diam, "Kak Mahesa Bu, aku nggak mungkin meninggalkannya. Aku sayang Beliau." "Dia bukan Mahesamu lagi Ra, ayo! Kau mau bunuh diri dengan gigitannya?" tanya Bu Asih.

Kami lari, pelan tapi pasti, sambil ku lihat belakang, takut ada zombie yang mengancam, termasuk kakakku, maksudku kakak yang sudah bukan manusia lagi. Tiba-tiba ada serombongan di hadapan kami. Manusia atau bukan? Kami berhenti, memastikan mereka itu siapa. "Jangan takut Ra! Ini aku Dewa membawa serombongan penolong kita, ayo kita tinggalkan desa ini!" pinta Dewa. Aku masih diam dan menunduk. "Ra, ayo!" pinta Dewa sambil menarik tanganku. Aku menggeleng. "Kak Mahesa Dewa. Aku nggak bisa pergi," jawabku sambil menangis.

"Ra, Dia bukan Mahesa kakakmu, tapi zombie. Ayo Ra! Jangan bunuh diri! Kamu masih bisa menjadi manusia berguna, jangan pasrah! Ayo bangkit! Jangan menyerah! Gabunglah bersama mereka untuk mencari manusia yang masih tersisa! Selamatkan dirimu dan yang lain Ra!" pinta Dewa. Aku masih diam. Tiba-tiba Kak Mahesa muncul di belakangku. "Itu Dia zombie Mahesa. Lari!" pinta Dewa kedua kalinya. Aku berbalik, Kak Mahesa semakin dekat. Semua di tempat itu lari kecuali aku.

Kami terjebak di desa zombie. Lari ke desa manusia atau terkurung di desa ini dan menjadi zombie. Kak Mahesa semakin dekat. "Ra, aku sayang sama kamu. Kembali, jika Kau sayang kepadaku! Tapi jika Kau menunggu digigit kakakmu, berarti Kau tidak sayang padaku," kata Dewa. Aku bahagia mendengar Dewa berkata begitu. Aku berbalik hendak melangkah ke Dewa, tapi Kak Mahesa menarik tanganku. Tidak. Sebuah tembakan di kepala Kak Mahesa membuatnya tak berdaya, jatuh di bawahku. "Kak, maafkan aku. Kak," kataku sambil memeluk Kak Mahesa untuk terakhir kali.

Dewa menjemputku, "Ayo!" Aku berjalan bersamanya sambil sesekali melihat Kak Mahesa yang terbujur kaku. Kami kembali ke desa manusia, sambil melihat sekeliling apakah benar-benar aman atau masih ada zombie berkeliaran. Aman. Kami sampai tujuan. "Terima kasih kalian yang sudah membantu kami, juga Bu Asih. Ibu bisa tinggal di rumah Rara sementara sambil menunggu dijemput putra Ibu," pintaku.

"Ra, maaf ya sudah membuatmu sempat kecewa dan cemburu waktu aku bersama Nawa," kata Dewa padaku sambil memelukku. "Iya", kataku. Tiba-tiba sebuah gigitan terjadi pada leherku. Dewa. Ternyata Dewa sudah menjadi zombie. Dia berubah, Bu Asih juga sudah menjadi zombie. Desa manusia ini pasti akan menjadi desa zombie juga seperti desa sebelumnya. "Dewa, aku rela menjadi zombie bersamamu," kataku sambil sedikit demi sedikit berubah menjadi zombie.

Penulis sedang membaca buku karangan penulis idola (sumber gambar : dokpri)
Penulis sedang membaca buku karangan penulis idola (sumber gambar : dokpri)
Yovita Nurdiana. Seseorang yang berdomisili di Yogyakarta dan memiliki nama pena Akhaya Noory yang berharap menjadi cahaya seperti nama asli dan nama pena nya. Pencinta warna hijau yang selalu ingin menyejukkan para pembaca. Memiliki hobi membaca sambil mendengar lagu kesukaan, tapi juga ingin tulisannya dikenang oleh orang-orang yang haus akan kata-kata yang menenangkan. Penulis bisa dihubungi melalui yovita.nurdiana@gmail.com atau ig @yovie_angel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun