Jika kita pernah dibuat luka oleh seorang lawan jenis di masa lalu, maka rasa sakitnya masih terasa hingga saat ini, sekalipun kita sudah memaafkan, pasti bekasnya masih akan terasa. Aku pernah merasakan begitu, ditinggal nikah oleh seorang laki-laki, padahal kami sudah dekat selama 10 bulan, walau belum ada ikatan, yang waktu itu Dia hanya menganggapku sebagai sahabat.Â
Dulu Dia dikenal sebagai orang yang pendiam, kalau tidak diajak ngobrol duluan, jarang sekali memulai pembicaraan, kecuali sudah dekat dengan orang itu (dalam hal ini dekat dengan lali-laki). Tetapi, sama aku Dia juga diam, walau dibilang sahabat, entah kenapa aku diperlakukan berbeda. Aku pernah berpikir, kenapa harus Dia yang satu tim denganku saat bekerja di kantor? Padahal masih ada orang lain di tempat kerjaku yang seharusnya bisa menggantikannya.
Aku harus ngobrol lagi dengan orang yang sudah meninggalkan luka, kadang sulit, kadang mudah, tergantung situasi. Kalau Dia baik, atau ngobrol secara bersahabat, aku masih terima, walau kami sudah tak ada hubungan persahabatan lagi semenjak Dia menikah. Tapi kalau Dia marah, karena tidak bisa diberitahu alias keras kepala, aku semakin jengkel, tapi aku berusaha untuk memilih diam, agar tidak semakin bertengkar, walau dalam hati aku masih jengkel, aku berusaha menghentikan itu.Â
Secara tanggung jawab kerja, Dia salah, aku hanya mengingatkan, tetapi kenapa Dia marah? Padahal dikenal pendiam, atau malah sudah berubah setelah menikah? Aku tak tahu, aku hanya tak mau menambah masalah. Memang benar, kadang diam itu emas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI