Di kala pedagang makanan atau minuman menunggu pembeli, pasti berharap sesaat lagi akan datang pembeli yang membeli satu bahkan lebih, sehingga dagangan habis lalu bisa istirahat setelah itu. Tetapi tidak selalu begitu, kadang ku lihat makanan yang dijual pedagang masih banyak padahal sudah larut malam dan warung dibuka sejak matahari menyapa. Padahal rasanya enak, atau karena dicap mahal oleh pembeli? Mungkin, karena harga sekarang lebih murah, malah ada tulisan harga untuk menu tertentu agar orang tertarik mampir.Â
Pernah aku mampir ke warung itu di saat hampir tutup, karena aku pernah bertanya tutup pukul 21.00. Tetapi saat aku berkata hendak menyantap di tempat sambil melirik jam tangan, sang pedagang memberitahu bahwa jam tutup menjadi pukul 21.30 sambil menungguku.Â
Selang beberapa bulan setelah itu aku berkunjung kembali untuk membeli makanan kesukaanku. Sang pedagang memang ramah dan selalu mengucapkan terima kasih saat terima uang berapa pun itu. Aku mendengar suara lirih seorang Ibu di luar warung. Kenapa sang Ibu memanggil pedagang tanpa masuk? Ternyata Beliau takut, tidak akan dilayani karena sepertinya uang Beliau tidak cukup banyak. Beliau bertanya, "Mas, apakah boleh membeli dua bungkus berisi nasi dan sayur tanpa lauk?" Sang pedagang menjawab, "Boleh." "Sayurnya dipisah dan dibanyakin ya Mas!" pinta sang Ibu.Â
Di warung lain pernah ku jumpai seorang anak laki-laki yang bertanya pada seorang pedagang makanan yang harganya Rp 8.000 per porsi kala itu, "Bu, apakah saya bisa membeli makan? Uang saya hanya Rp 5.000." Si Ibu mengangguk dan melayani anak itu dengan raut muka yang masih bahagia. Porsi makanan itu juga sama dengan porsi biasa yang seharga Rp 8.000. Karena sang bocah entah merasa malu atau takut atau tidak enak dengan pembeli lainnya, si anak hanya terdiam menunggu di luar warung, di bawah teriknya matahari karena tak ada pohon di kanan-kirinya. Si Ibu meminta sang anak untuk makan di dalam warung sambil menawarkan beberapa tambahan bumbu agar rasanya lebih nikmat.Â
Kisah lain, kala berangkat untuk jalan sehat bersama teman-teman, cuaca sudah mendung di pagi hari. Aku mampir warung untuk membeli sarapan sebagai pengisi agar kuat saat berjalan. Karena pedagang lama melayani, hujan turun dengan derasnya tanpa permisi. Lalu si Bapak penjual memintaku berteduh sejenak sembari menunggu hujan reda.Â
Di kota lain, aku pernah melihat seorang tukang becak yang sudah membawa tempat makan berisi nasi putih dan membawa sebotol teh memesan semangkuk sup panas. Si Ibu tetap melayani sepenuh hati.Â
Pernah juga Bapak becak lain yang menjadikan suatu warung sebagai tempatnya mengisi perut. Aku pernah mendengar pembicaraan pedagang dan Pak becak tanpa sengaja. Ternyata Bapak punya utang pada sang pedagang makanan itu, tetapi pedagang masih sudi melayani, walau hanya dengan sepiring nasi putih yang porsinya tetap banyak seperti pembeli lain, yang membuat beda hanya satu, tanpa lauk dan tanpa sayur, hanya guyuran kuah santan yang tak begitu pedas. Ku lihat rambut Bapak becak semakin panjang, mungkin karena tak ada uang untuk potong rambut, untuk makan saja belum ada, becaknya juga belum ada penumpang, karena banyak saingan, yang lain memakai mesin, si Bapak masih menggunakan kaki kecilnya dan tubuh kurusnya untuk mengayuh becak tuanya.Â
Lagi, di warung lain yang menyediakan sesuatu untuk para driver online. Warung pertama memberikan segelas kopi untuk sang driver dan warung kedua beberapa kali ku lihat memberikan segelas teh dan satu bungkus snack sebagai teman teh. Luar biasa ya. Gelar pahlawan bisa dimiliki oleh para pedagang yang baik hati, ramah, tidak pelit. Tidak ada salahnya para pedagang memberikan apa saja yang bisa diberikan sebagai wujud pelayanan, apapun kondisi dagangan yang dijualnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H